TENTANG DOA YANG MEMANDANGMU
- August 18, 2017
- by Nur Imroatun Sholihat
source: theislamicemailcircle.com |
“Jadi apa doa yang sering kau
ucapkan?”
“Ya Allah, jauhkan aku dari cinta
yang tidak mendekatkanku pada-Mu.” Kau bertutur tenang seolah telah begitu
kerap melafalkannya.
Pagi itu terasa demikian hening di
telinga. Hatiku sesak sekalipun pikiran tengah tersenyum. Aku seharusnya senang
bukan sebab tak perlu melihatmu mencuri pandang pada seseorang atau bergerak
mendekatinya? Aku semestinya berbahagia kau menceritakan rindu melalui doa,
bukan melalui senyum malu-malu ketika berhadapan dengan seseorang yang
dimaksud. Tetapi entah mengapa aku tak putus bertanya-tanya.
Meski demikian, segenap tanda
tanya di jantung rinduku terasa demikian menyenangkan. Aku bergembira
menerka-nerka masa depan yang tergelar di depan kita. Aku tersenyum mendoakan
kebaikanmu. Aku senang meskipun kau tidak pernah mengetahui apa-apa yang
mendera pikiranku. Terus terang saja. Apa yang bisa aku keluhkan dari
menambatkan rasa pada seseorang sebaik engkau?
“Apakah kisah seperti Fatimah dan
Ali yang kau maksud?” Pertanyaanku di hari lainnya.
“Tetapi dada siapa yang tidak
bergetar kencang mendengar kisah tersebut?” Kau tidak menjawab melainkan
mengajukan pertanyaan.
Aku tertunduk bersama semesta yang
seolah mengheningkan cipta. Kau yang merahasiakan perasaan dengan begitu apik
nantinya akan datang pada sesesorang dan aku khawatir pada kenyataan itu. Maka
aku berdoa agar tidak dikerumuni keinginan untuk menampakkan perasaan di
hadapanmu yang mungkin akan berjalan ke arah yang lain. Aku juga memohon agar
hanya cinta kepada seseorang yang tepat sajalah yang bermukim di hatiku. Bila
kau bukan seseorang itu, aku ingin ditakdirkan berbahagia melupakanmu.
Wahai seseorang yang kerap
mendengar pertanyaanku, doa-doa tentangmu tak bisa kuucapkan tanpa derai air
mata. Lihatlah doaku tengah memandangmu syahdu. Aku sejatinya takut karena
terbelenggu perasaan yang tidak kukenal sebelumnya. Aku sungguh resah sebab
sepertinya tengah berdiri di depan cinta yang tidak dituliskan untukku.
Kini kita adalah dua manusia yang
terpisah jarak dan tengah mengerjakan kegiatan masing-masing. Itu saja. Bahkan
ketika kita berhadapan dan bercakap-cakap, kita tak saling menatap mata
masing-masing. Kita sibuk menoleh ke arah lain seolah menatap akan menyayat
luka yang demikian lara. Lalu dengan apa aku memandang wajahmu saat kita
demikian jauh selain melalui doa?
0 Comments:
Post a Comment