KAWI
- September 24, 2019
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 3: JARAK
KITA SAAT INI
source: tumblr.com |
(Raya’s POV)
Semula aku menerka-nerka siapa gerangan di balik paket yang diantarkan
kurir pagi ini. Tetapi melihat pria
berkemeja biru itu menyerahkan bungkusan berwarna merah marun, aku semacam bisa
menebak siapa pengirimnya secara instan. Bergegas
kubuka kertas marun itu untuk mendapati sebuah buku bercover marun juga. Kita selalu tersenyum pada hal-hal kecil
yang mengingatkan kita pada seseorang yang berharga bukan? Ardhana and his unpopular maroon obsession
did it to me today. Kusibak halaman judulnya untuk menemukan pesan yang
ditulis dengan tangannya.
Yaya,
Jarak kita saat ini: dua buku. Kapan nyusul?
-Adan
Aku
bergegas mengetik pesan untuk Ardhan mengabarkan bahwa paketnya telah tiba.
Congrats. As always, thank you for
not giving up, Dan
Ps: jarak
kita belum sejauh itu, jangan jemawa :p
Aku membaca halaman demi halaman sembari menelusuri jejak
inspirasi puisi-puisinya. Ada banyak puisi bernada biru—lebam akibat patah
hatinya tergambar jelas dalam tulisan-tulisannya. Dua tahun sudah bersama
ketika tiba-tiba mereka berada di titik nadir dan memutuskan untuk rehat—sebuah
istirahat yang durasinya hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Aku tengah
membaca dengan khusyuk ketika ponselku bergetar.
Aku mau
rilisnya di Jogja lho, Ya. Sekalian pulang. Sampai ketemu.
Aku meletakkan buku Ardhan di sebelahku yang kini berbaring
menatap langit-langit. Lebih dari tiga semester sudah jarak ratusan kilometer
membentang antara aku dan dia. Kepulangan Ardhana selalu membahagiakanku tetapi
kali ini aku bimbang. Perasaanku mendadak kacau balau sebab keberanian berdiri
melawan perasaan yang selalu kutunjukkan saat kami berbatas layar sepertinya
gentar ketika menghadapi sosoknya yang kini sendiri berdiri di depan mata. Aku
khawatir hasrat untuk memanfaatkan kesempatan kekosongan hatinya mendesakku
untuk berterus terang. Sungguh tidak berperasaan bukan jika aku berusaha hadir
di tengah-tengah dua orang yang sebenarnya hanya berniat untuk berjarak
sebentar saja?
“There is
someone I can’t even bear to be apart with….” Tiba-tiba aku teringat goresan di buku harianku saat Ardhana
mengatakan bahwa hari itu dia bertengkar hebat dengan Putri. Ingin sekali aku
mengucapkan kalimat itu ketika Ardhana mengeluhkan betapa mudahnya Putri
mengucapkan perpisahan.
“Perpisahan itu bukan hal yang enteng kan, Ya? Jadi kenapa dia
bisa segampang itu bilang ‘break’?” Suara Ardhan terdengar lelah di seberang
sana.
Di dunia ini, Dan, jangankan menganggap perpisahan itu mudah—aku
bahkan memiliki seseorang yang aku tidak kuasa untuk sekadar membayangkan jika
aku harus berpisah darinya.
***
Kini bersama memori yang menyembul kembali seiring aku membaca
diary-ku, aku akan menceritakan tentang tokoh utama dalam buku yang sudah
menemaniku bertahun-tahun ini.
Ardhana Kijaora Kawi nama lelaki itu. Seseorang yang meledekku
bahwa seharusnya aku terdaftar dalam kartu keluarganya itu adalah seorang
sahabat sejak kami sama-sama belum bisa melafalkan huruf “r”. Itulah mengapa
sepanjang aku bisa mengingat, tidak ada sapaan “Ardhan” dan “Raya” di antara
kami.
“Adan” dan “Yaya” menjadi panggilan yang kami bawa sampai sekarang. Sejak kecil, dia selalu berdiri tegap
di tengah tekanan untuk mengikuti jejak kakaknya. Dia pernah berkata padaku bahwa
dia akan bekerja keras agar suatu saat tidak hidup di bawah bayang-bayang Mas
Arga lagi. Itulah mengapa dia selalu tampak ambisius tentang apa-apa yang
dicita-citakannya. Meski terlihat bersaing, Ardhan selalu menjadikan Mas Arga role model hidupnya (kecuali dalam soal
asmara). Ardhan pernah bercerita, “Aku nggak mau diam soal perasaan, Ya. Aku
nggak mau kaya Mas Arga,”. Well, Adan,
kadang-kadang, kita tidak punya pilihan soal perasaan kecuali untuk diam.
Kami tahu tangisan terjelek masing-masing. Kami tahu wajah
masing-masing saat belum mandi pun. Kami saling mengetahui rahasia yang
tersimpan rapat dari orang lain. Sebagai anak bungsu, dia memiliki sifat manja
yang hanya dikeluarkannya saat dia berada di dekat ibunya atau aku saja (ah,
sekarang Putri ada di daftar orang yang bisa melihatnya memperlihatkan sisi
itu). Terhadapku, Ardhana sering terlihat seperti kakak yang melindungi yang
juga kerap terlihat seperti adik yang meminta dilindungi.
Jadi sejak kapan aku menyadari perasaanku pada Ardhan? Aku
mengetahuinya saat seseorang mengutarakan perasaannya padaku dan aku menggeleng
kepadanya sembari meminta maaf.
“Tapi kenapa? Kenapa, Raya?” pertanyaan kakak kelasku di SMA itu
menerorku yang sejujurnya tidak mengetahui jawabannya. Aku hanya menatapnya
kosong bersama batin yang sama kosongnya. Pikiranku berkelana memikirkan
mengapa Ardhan tidak secara ajaib muncul menyelamatkanku dari situasi kikuk ini.
Aku kemudian menyadari sesuatu yang datang bak tamparan sangat keras. Aku
selalu bisa melangkah pergi dari situasi canggung ini tanpa bantuan Ardhana sekalipun tetapi pikiran yang
melaju menggapainya yang tidak sedang dalam jangkauan mata jelas
bukan tentang keadaanku saat ini. Aku memikirkan Ardhan karena seseorang yang
sedang mempertanyakan perasaanku ini bukanlah dia. Senyumku getir menyadari
betapa inginnya aku melihat kehadiran Ardhan saat ini untuk melarangku bersama
seseorang lain. Ardhana tidak akan
melakukan itu, Raya. Aku memaki kebodohanku sendiri.
Aku teringat sebuah ungkapan yang terkenal di dunia maya saat orang-orang
membahas puisi-puisi Ardhana yang ibarat gula: “He is the type of boyfriend who will never be
your boyfriend,” atau "he's the poetic boyfriend we wish we had," Frankly said, the sentence spoke only truth. Ardhana is the
boyfriend we will never have. And you know what’s worse? Ardhana’s existence
itself is all the reasons why I never looked at and tried to find
someone.
***
“Yayaaaaaa,” Ardhana melambaikan tangannya melihat Raya berlari
dari arah rumah. Seperti biasa, belum juga masuk ke rumah tetapi hal pertama
yang saling mereka lakukan saat pulang kampung adalah mengabari saat sudah
sampai. Dia tertawa melihat Raya mempercepat larinya, sesuatu yang tidak
berubah sejak mereka masih kecil.
“Wiiih… Ketemu juga aku sama penulis Ardhana Kawi yang terkenal
itu,” masih dengan napas tersengal-sengal, Raya meledek.
“Apaan deh,” Ardhan menunjukkan wajah kesel lalu tertawa.
Dibenarkannya jaket Raya yang sisi kanannya jatuh karena lari cepat perempuan
itu.
“Ardhana Kawi, I used to be a fan of yours,” Raya berbicara
membiarkan Ardhana merapatkan jaket untuknya. Dia berpura-pura seperti seorang
penggemar yang terkejut bertemu dengan idolanya.
“Berarti sekarang udah nggak dong? Yah padahal aku barusan rilis buku yang bagus lho, Ya,” Ardhan memindahkan perhatiannya
pada wajah Raya. Ditatapnya wajah perempuan itu menggeleng.
“Now, I’m the whole air conditioner of yours,” Tak tahan melihat
wajah kebingungan Ardhan, Raya melempar candaan yang sudah dipersiapkannya.
“Hahaha. Your joke is lame,” Dia bergegas menarik perempuan yang
masih tertawa itu untuk memasuki rumahnya.
“Bu, Yaya teng mriki,” Teriak Ardhan di depan pintu. Terdengar suara
ibunya menyaut sembari bergegas berjalan menghampiri mereka.
“Heh, harusnya kamu bilangnya, ‘Ardhan teng mriki’. Kan itu
ibumu,” Raya memprotes. “Budhe, niki Ardhan wangsul,” ucapku ketika ibu Ardhana muncul
dengan senyum sumringahnya.
“Kamu kan juga warga rumah ini,” Ardhan mendorong Raya masuk.
Perempuan itu mengelak.
“Yang punya rumah duluan,” Balas Raya.
“Bocah loro kok podo wae toh,” Ibunya terkekeh melihat keduanya
berdiri di depan pintu sambil saling mendorong masuk tetapi tidak satu pun
bergegas ke dalam. Ibu menarik Ardhana kemudian Raya untuk masuk dan duduk.
“Yaya, aku capek,” Ardhan dengan santainya menyandarkan kepalanya
di bahu Raya. Kemanjaan Ardhan yang tidak lekang meski dia telah mendewasa dan menjadi seseorang yang terkenal.
“Ya, aku udah liat IG siapa tuh namanya. Kamu sama dia
progress-nya gimana?” Ujar Ardhana seraya membuka instagramnya untuk membalas
beberapa DM yang masuk.
Dari gerakan bahu Raya yang terangkat, Ardhan tahu Raya memberinya
jawaban “aku tidak tahu”.
“Kenapa? Ada sesuatu yang nggak sreg?” Perhatian Ardhan belum
teralih dari layar.
“Hmmm,” Raya ogah-ogahan menjawab.
“Apa itu?” Ardhan mengangkat kepalanya kemudian mengarahkan posisi
duduknya agar bisa menatap Raya.
“Rahasia dong,” Raya tersenyum kepada seseorang yang duduk di
sebelahnya itu.
“Sejak kapan kamu punya rahasia dari aku, Ya,” Ardhan kembali
menyandarkan kepalanya ke bahu sahabatnya itu. “Lagian ya, Ya, makanya kamu
kalau ditanyain temen mau dicomblangin sama yang kaya gimana, tunjukkin fotoku
dong. I’m your favourite, right?” Ardhana menahan tawa isengnya.
“Apaan deh becandaannya nggak lucu,” ujar Raya kesal.
“Aku juga kalau ditanyain orang mau dikenalin sama orang yang kaya
gimana, aku tunjukkin fotomu kok, Ya,” tangan Ardhan tiba-tiba menjulur
menunjukkan foto Raya di layar ponselnya.
“Because I’m your favourite?”
“Nggak. Karena aku cuma punya foto kamu doang. Hahahaha,” suara
tawa Ardhan yang sedari tadi ditahan kini terdengar keras. Ardhan memang sudah menghapus semua foto Putri di ponselnya saat mereka memutuskan untuk rehat. Itulah mengapa hanya ada foto Raya tersisa.
“Still your joke is not funny,” Raya mendengus lirih. Dia mengerti betul mengapa
dia kesal saat ini tetapi mungkin Ardhan hanya menganggapnya kesal karena
ledekannya.
“Kamu sama Putri break-nya mau sampe kapan?” Raya membuka kembali obrolan
setelah mereka terdiam cukup lama.
“Aku sekarang mau fokus dulu sama keluarga, sahabat, dan penggemar
dulu deh, Ya,” ucap Ardhan tanpa tenaga. Dari suara yang terdengar, Raya tahu saat ini
Ardhan sudah sangat mengantuk.
“Paling karena capek LDR-an kali, Dan. Coba diomongin baik-baik. Besok
temuin Putri ya,” Raya berusaha merendahkan suaranya agar tidak mengganggu Ardhan yang
sudah setengah terlelap itu.
“Udah dibilang aku masih mau fokus dulu sama yang ada sekarang,” Ardhan masih berusaha menjawab meski konsentrasinya sudah tidak penuh.
Raya bisa menebak mengapa Ardhan sengantuk ini. Pasti di perjalanan tadi, dia menangis memikirkan Putri. Setiap habis menangis, mata pria ini akan terasa berat
sehingga dia cepat tertidur. Juga, Raya sejatinya tahu Ardhan sedang berpura-pura
untuk terlihat kuat.
“Adan, aku nggak tahu kamu masih konsen dengerin atau nggak tapi
aku mau bilang sesuatu,” suara Raya terdengar parau.
“Hmmm,” Ardhan menyahut dengan suara yang sangat rendah.
Ardhana yang berusaha untuk terjaga menyimak kelanjutan ucapan
Raya justru mendengar perempuan itu terisak lirih. Jika tidak sedang
bersandar padanya mungkin Ardhan tidak akan tahu bahwa perempuan itu sedang
menangis. Napas Raya terdengar sesak dan berat seolah beban di pundaknya begitu
berat—seberat ribuan kepala sedang bersandar kepadanya.
“Kenapa, Ya?” Ardhan dengan mata yang memerah karena kantuk yang
ditahannya kini mengangkat kepala untuk mendapati Raya memiliki mata yang sama
merahnya. Kepanikan tidak sedikit pun tersamar dari suaranya yang lirih itu.
Menyadari Raya tak kunjung bersuara, Ardhan menarik napas panjang.
Pikirannya keruh dengan sejumlah pertanyaan tentang Putri dan kini juga
pertanyaan tentang Raya. Dia mengacak-acak rambutnya sendiri sebab tidak tahu
apa yang harus dilakukan dengan pikiran yang berserarakan. Tidak seseorang pun memberi tahuku, bahwa puisi yang paling biru pun
tidak akan bisa mewakili beberapa situasi—seperti situasi yang kuhadapi saat
ini. Ada apa dengan jarak kita hari ini, Yaya? Mengapa kita duduk bersebelahan
tetapi tidak kuasa saling menatap?
Mungkin
karena luka tergurat jelas di sorot mata kita dan kita enggan mengakuinya secara jujur di depan orang terdekat pun. Mungkin kita terlalu
khawatir untuk menunjukkan adanya masa kita remuk dihajar pilu. Aku
tahu luka yang saat ini tidak teratasi olehku. Tetapi apa lukamu, Ya?
----
(to be continued)
0 Comments:
Post a Comment