KAWI
- October 27, 2019
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 4:
Bahkan Jika Aku Harus Merahasiakannya dari Seisi Dunia, Aku Masih Akan
Mengabarimu
source: tumblr.com |
“Aku izin buat menjauh dari kamu sementara. Maaf ya, Dan,” dari
suaranya yang gemetaran saja, seseorang pasti tahu seberapa banyak usahanya
untuk mampu berujar demikian.
Ardhan yang semula menenggelamkan wajahnya dalam kedua telapak
tangannya mengangkat wajah untuk memastikan Raya benar yang barusan berucap.
Meski waktu yang panjang telah dilalui bersama, Ardhana kadangkala merasa tidak
mengenal sisi lain Raya. Seperti saat Raya dengan begitu lembut menghiburnya
ketika dia tidak diterima di jurusan sastra ataupun saat ini ketika dia dengan
kelembutan yang sama meminta jarak. Ardhana mengusap keningnya seolah keringat
dingin telah bertengger di sana sedari mula mendengar ucapan Raya.
“Kenapa? Kamu mau ikut-ikutan minta break? Raya kamu nggak bisa break
dari menjadi keluarga seseorang,” amarah terdengar jelas dari Ardhan. “Semua
hubungan di dunia boleh punya break tapi
nggak dengan keluarga,”
Ardhana hampir tak pernah meninggikan suaranya sehingga apa yang
barusan didengarnya membuat Raya tersentak. Air mata mengalir hening dari sudut
matanya sebab lelaki di sampingnya itu membentak meski mengetahui hatinya
tengah pecah berserakan. Tidak ada yang ingin Raya katakan lagi. Saat ini dia
hanya ingin pulang dan cepat tertidur.
“Tolong jangan tinggalin aku dalam keadaan kaya gini, Ya. Aku mau
rilis buku dan kamu tahu betapa beratnya fase itu buat seorang penulis. Gimana
kalau banyak yang mengkritik bukuku? Gimana kalau nggak ada yang beli?
Perasaanku sekarang lagi kacau banget,” suara Ardhana melunak. Seolah
mengabaikan air mata yang dilihatnya, kedua tangannya mengguncang-guncang bahu
Raya.
“Kamu pernah bilang kan, Dan, kalau kamu nggak suka seseorang yang
menyelesaikan masalah dengan silent
treatment. Sekarang aku lagi menyelesaikan masalah dengan tetap ngasih tau
kamu meski sejujurnya aku nggak mau berterus terang soal ini. Kenapa kamu marah
padahal aku lagi berusaha menyelesaikan masalah dengan ngobrolin ini ke kamu,”
“Tapi masalahnya apa? Di antara kita nggak pernah ada masalah.
Kalaupun kita berantem, itupun selalu tentang hal-hal remeh, nggak sampe sehari
juga kita udah lupa,” Ardhana memprotes.
“Karena…” Raya menghela napas panjang. Ada jeda yang beku meski
udara dan suasana di antara keduanya sedang panas. “Karena aku punya perasaan
lebih dari sekadar berkawan, Dan. Aku
pikir ada baiknya aku menjauh sebentar supaya perasaanku kembali normal.
Sekarang hati kamu lagi kacau dan aku nggak mau kesempatan kaya gini bikin aku
tersungkur lebih dalam lagi. Aku nggak mau dibebani harapan yang lebih besar
bahwa kamu bakal suka sama aku,” Suaranya Raya gemetaran berujar cepat
kata-kata yang tidak pernah Ardhana bayangkan akan didengarnya dari Raya. Kekacauan macam apa ini, batin Ardhan.
“Becanda kamu, Ya. Ada banyak cowok yang lebih cocok buat kamu.
Lagian, ini cuma perasaan karena kita deket banget aja, Ya, bukan perasaan
suka,” Ardhana berusaha berujar setenang mungkin.
“Meski ada banyak laki-laki di dunia ini yang lebih cocok pun,
kamu kebahagiaanku, Dan. Karena itu, kasih aku jeda supaya aku bisa berhenti
membanding-bandingkan,” suara lirih Raya memohon seolah satu-satunya hal yang
dia inginkan saat ini hanyalah berjarak dengan Ardhana. “Aku…”
“Oke,” Ardhana memotong cepat Raya yang sedang perlahan
menjelaskan maksudnya. Jawaban singkat Ardhana muncul lebih cepat dari yang
Raya perkirakan. Ada bagian dari diri Raya yang kecewa Ardhana semudah itu
mengiyakan—meski dia tahu tujuannya adalah menginginkan pengiyaan dari lelaki
ini. Tangan Ardhan menengadah memberi kode agar Raya memberikan ponselnya.
“Kamu pasti nggak tega nge-block
aku kan? Aku bantuin block kontakku
ya,” Ardhan menekan layar hp Raya sejenak kemudian mengembalikannya. Raya melihat akun instagram Ardhana yang sudah di-block di ponselnya. Kini tak ada lagi jalan untuknya menghubungi Ardhana. “Jangan
lama-lama ya. Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa unblock terus block lagi
kalau udah selesai juga nggak apa-apa. Whichever is easier for your heart, Ya,
I’m okay with that,” meski suaranya terdengar dingin, apa yang dilakukan dan
diucapkan Ardhana membuat hatinya terasa sangat hangat—sebuah alasan mengapa
lelaki mana pun tak akan bisa mengungguli Ardhana di hatinya.
Raya mengangguk sembari memberanikan diri menoleh untuk mendapati
Ardhana sedang menatap nanar ke depan. Ada air mata yang tertahan di sudut
matanya menatap sudut mata Ardhana yang sama beratnya menahan tangis.
Adan, pernah mendengar sebuah quote “kadang kala kita ingin menghilang,
tetapi yang sebenarnya kita inginkan adalah ditemukan”? Saat ini demikian lah
perasaanku. Aku tak benar-benar ingin menghilang dari kehidupanmu. Aku ingin
ditemukan olehmu karena engkau mencariku.
“Yaya, tetep simpen aku sebagai salah satu bagian dari
kebahagiaanmu ya. Sebagai keluarga yang akan selalu ada kapan pun. Kamu akan tetep
jadi orang yang bahkan kalau aku harus ngerahasiain sesuatu dari seisi dunia,
aku masih akan tetep ngabarin kamu,” Ardhana berujar masih dengan tatapan
kosong yang menatap lurus ke depan. “Oh ya, kalau suatu saat kamu jatuh
cinta lagi, Ya, jangan jadikan dia satu-satunya kebahagiaanmu. Dia hanya boleh
jadi bagian kecil dari kebahagiaanmu yang luas,” ada aliran hening dari kedua
mata bulat Ardhana.
Raya mengangguk lirih sembari menghapus air mata yang seakan
mengkhianatinya untuk terlihat kokoh. Tangan Ardhana bergerak hendak menepuk
lirih punggung Raya tetapi terhenti ketika jaraknya tinggal sedetik gerakan
tangan saja. Ardhana menurunkan tangannya sebab menyadari sesuatu: bukan
semata-mata salah Raya ingin menghapus garis pertemanan. Caranya bersikap
mungkin telah membuat Raya kesulitan menghadapi hari-hari bersamanya. Mungkin caranya memperlakukan Raya selama ini adalah sumber dari perasaan Raya kepadanya.
“Maaf ya, Dan. Seumur-umur aku nggak pernah mau nyusahin kamu. Tapi ternyata..." sesegukan Raya berujar.
“Maaf juga ya,” Ardhan kembali memotong ucapan Raya. “Mana yang
lebih ringan buat hatimu, Ya, aku anterin pulang atau kamu pulang sendiri?”
Ardhana beranjak dari kursi.
“Pulang sendiri,” suara perempuan itu hampir tak terdengar.
Ardhana mengangguk, “Sudah malam, Ya. Kamu….” Tenggorokan Ardhana
tercekat menyadari bahwa dia tidak pernah membiarkan Raya pulang malam tanpa
ditemaninya. “… pulang sana,” intonasi bicaranya seolah sedang menyuruh
seseorang yang tidak terlalu dikenalnya untuk pergi dari rumahnya. Dia beranjak
dari kursi kemudian menuju kamarnya tanpa menoleh ke arah Raya lagi.
***
(2015)
(Ardhana’s POV)
Taman yang sejuk itu ternyata tidak cukup untuk menyejukkan
suasana di antara aku dan Raya. Sejak menyuruhnya keluar dari perpustakaan sampai saat ini, kami hanya menghening seakan orang asing yang kebetulan berhadapan. Aku hanya duduk di seberangnya dengan tatapan
menghakimi tetapi tembok besi transparan seolah tengah memisahkan kami.
“Setahun lho, Ya, dan kamu masih memperlakukan aku begini. Ini
nggak adil, Ya,”
“Maaf ya, Dan. Maaf. Maaf,” Raya akhirnya berujar. “Maaf,” entah
sejak kapan, wajahnya pandai menghadirkan kontras bibir yang tersenyum bersama
mata berkaca-kaca. “Bukunya bagus. Aku suka puisi yang ‘Jingga Senja’. Aku kaya
bisa melihat perempuan yang di pipinya senja terlelap. Kalau kamu cuma pengen
tahu apa aku baca bukumu, aku baca. Tapi aku nggak bisa ketemu penulisnya tanpa
keinginan untuk menjadi perempuan yang disadur di puisinya. Kasih aku sedikit
lagi waktu, Dan. Mungkin di perilisan buku keempat kamu, aku bisa jadi seorang
pembaca biasa yang nggak berharap apa-apa,” nada bersalah tergelar sepanjang
ucapan Raya.
“Ternyata aku nyusahin kamu segitunya ya, Ya,” Aku menarik napas
berat, “Aku nanti sore balik ke Jakarta. Besok pagi ada kuliah. Cuma pengen
ngabarin kamu aja, Ya, soalnya kamu tetep keluargaku yang berhak denger
ceritaku. Take care ya. Cepet rilis
buku,” Aku benci terlihat cengeng tetapi berpisah dengan seseorang yang sangat
dekat dengan kita, apalagi dengan tidak baik-baik, selalu menyesakkan. Aku melangkah
sebelum gundukan di ujung mataku tak mampu membentengi diri lagi.
“Yaya, kamu….” Aku menghentikan langkahku kemudian membalik
badanku ke arahnya.
“….jelek kalau lagi nangis,” Raya melanjutkan ucapanku seolah bisa
membaca pikiranku. “Emangnya ada ya masa aku nggak jelek?” Raya mencoba tertawa
di tengah deraian air matanya. “Iya aku nggak nangis,” dia menghapus air
matanya.
“Dan lebih jelek lagi karena aku tahu aku penyebabnya. Di masa
depan, jangan lagi nangis gara-gara aku ya,” aku memutuskan berterus terang
karena itulah yang kami janjikan sedari mula: untuk tidak menyimpan apa-apa
yang ingin diucapkan. Bagaimana pun, dia adalah perempuan yang bahkan jika aku harus
merahasiakan sesuatu dari seisi dunia, aku akan tetap memberi tahunya.
Raya mengangguk. “Sana siap-siap balik ke Jakarta. Nanti
ketinggalan kereta lho,” aku melihatnya memaksakan diri tersenyum sembari
melambaikan tangan. Matanya yang memerah seolah mengabarkan retakan hatinya
melihatku datang menghancurkan pertahanan yang perlahan dia bangun. Aku
seharusnya tidak menemuinya hari ini. Aku seharusnya membiarkan dia tak datang
menemuiku tanpa merasa perlu memarahinya.
***
Aku mendengar deru roda kereta beradu dengan rel meski berusaha
untuk terlelap. Mataku terpejam tetapi pikiranku berkelana menjelajahi satu per
satu potongan waktu yang masih meninggalkan sesak di dada. Aku teringat
kepingan masa di mana Putri untuk pertama kalinya mempertanyakan soal
Raya.
“Kamu tau nggak, Dhan, banyak yang nanya apa aku nggak keganggu
sama persahabatan kamu dan Raya,” Putri yang duduk di seberangku mengajukan
pertanyaan yang tidak pernah terbayangkan akan dilontarkannya.
“Terus kamu jawab apa?” aku berhenti menulis jawaban PR fisika
yang sedang kami kerjakan agar bisa memperhatikan ekspresi Putri dengan
seksama.
“Ardhan dan Raya itu kaya saudara. Probabilitas mereka buat saling
suka mendekati 0 persen. Nggak impossible
sih tapi hampir tidak mungkin terjadi,” Putri berujar kemudian membalik halaman
buku dan serius membaca seolah perkara aku dan Raya memang sangat sepele
baginya.
“Iya. Bener. Kamu lihat sendiri kan Raya itu kaya keluarga buat
aku. Serius ya, jangan pernah marah soal Raya. Di antara kami nggak akan pernah
ada perasaan apa-apa,” aku meyakinkannya.
“Iya, Dhan. Aku percaya kamu kok. Silakan dilanjut ngerjain
PR-nya,” Putri tersenyum dengan sorot mata yang berbinar-binar. Aku tersenyum
lega melihat Putri tersenyum tanpa beban meski perkara Raya bisa saja
mengganggu pikirannya jika dia tidak berusaha berpikiran positif. Putri, dengan samudera penerimaannya akan diriku adalah salah satu hal terbaik yang pernah ada di hidupku.
Pikiranku juga memutar ulang memori ketika aku dan Raya bertemu
sore harinya saat Raya mengantarkan mangga yang dipetik dari halaman rumahnya.
Ibu kami memang terbiasa saling berbagi makanan dan menjadikan kami kurirnya.
“Yaya, seberapa besar probabilitas seseorang suka sama teman
dekatnya?” aku mengambil kantong plastik yang diulurkannya.
“Kenapa tiba-tiba nanya begitu?” Raya menghindari tatapan mataku.
Saat itu aku tak tahu bahwa Raya sengaja melakukannya karena tak ingin aku
mendapati kejujuran dari matanya.
“Pengen tahu aja, Ya. Pengen bikin puisi tentang suka sama
sahabat. Tapi ide itu bagus nggak sih buat ditulis?”
“Emangnya sejak kapan penulis butuh mendengar pendapat sebuah ide
bagus atau nggak. Tulis aja dulu. Kalau nggak bagus kan tinggal nggak usah di-publish,” Raya melambaikan tangannya dan
berbalik arah. Tanpa pernah aku tahu, aku sedang mengaduk-aduk perasaannya
dengan pertanyaan bodoh itu.
Sebuah suara pesan whatsapp mengagetkanku yang matanya terpejam
tetapi tidak tertidur itu. Aku sengaja menyetel nada yang berbeda untuk
seseorang ini sehingga jika suatu waktu dia mengirimiku pesan, aku bisa segera
tahu. Aku bergegas membuka pesan itu khawatir dia menyesal mengirimiku pesan
kemudian menghapusnya sebelum aku membaca.
Dan, aku lagi
deket sama seseorang. He might not be as good as you but still. Itulah knp hari
ini aku nggak bisa ketemu km. Aku khawatir aku masih bakal membanding2kan. Oh
ya, aku denger banyak temenku memuji bedah bukumu. I’m so proud of you, always.
Btw, sejujurnya
puisi favoritku bukan “Jingga Senja” tetapi “Jarak Kita Hari Ini”. Jarak kita
hari ini/denyut jantungmu yang berdentum perlahan di telingaku. Tapi aku takut
kalau aku bilang itu favoritku, aku nggak siap denger penjelasanmu soal puisi
itu.
----
Apa yg bikin kamu suka
sama dia? Kpn kamu tahu kamu suka sama dia?
Pesan yang kukirim kepadanya. Tak lama kemudian pesan balasan
darinya muncul. Aku tersenyum getir membaca pesannya tentang tali sepatu. Aku
memandang keluar berharap deretan hijau persawahan mampu mengusik pikiranku
dari ingatan tentang tali sepatu.
Saat aku tahu
ada sesuatu yang akhirnya bisa dia ungguli. Waktu dia ngiket tali sepatuku yg lepas pas kami lagi jalan ke perpus.
Ps: You don’t
have to worry. Aku bukan lagi bilang dia lebih baik. Aku cuma pengen ngabarin.
Karena bahkan jika aku harus merahasiakannya dari seisi dunia, aku masih akan
tetap mengabarimu :)
(to be
continued)
0 Comments:
Post a Comment