KAWI
- November 17, 2019
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 5: Qué Horas son, Mi
Corazón?
(2012)
(Raya’s POV)
“Qué
horas son, mi corazón” aku berdendang lirih bersama jari yang
mengetuk lirih meja.
“’Corazon’, ‘corazon’ apaan sih, Ya?” Aku tak menyadari Ardhana
sudah duduk di sampingku dan melepas earphone kananku lalu memasangkannya ke
telinga kirinya.
“’Qué horas son, mi corazón’ bahasa
Spanyol yang berarti ‘jam berapa ini, hatiku’. "Mi corazón' bisa juga diartikan 'kekasihku'. Bagus ya, Dan,bunyinya ritmis
‘son’, ‘corazón’."
“Kamu serius ya belajarnya sampe pagi-pagi pun dengerin lagu
spanyol. Kirain cuma keinginan impulsif yang besoknya dilupain,” Ardhan
tertawa dengan earphone yang masih bergelayut di telinganya.
“Kalau aku nggak keterima sastra Indonesia, aku punya cadangan
sastra Spanyol. Lagian sekalian biar aku bisa paham puisinya Neruda tanpa perlu
baca terjemahannya. Siapa tahu suatu saat aku bisa nulis puisi pake bahasa
Spanyol kaya Neruda,”
“Mimpimu ketinggian, nak,” dia menepuk-nepuk kepalaku. “Coba...coba
ngomong Spanyol sekarang,”
“Me gusta soñar, me gusta tu.
Que voy a hacer?”
“Beneran bisa toh kamu, Ya?” Ardhana menahan tawa iseng. “Bangga
aku ternyata Yaya emang calon mahasiswa sastra spanyol,” pria itu tertawa lepas
seolah menertawakan usaha keras seseorang adalah sesuatu yang wajar.
“Itu lirik lagunya,” jawabku sewot.
“Artinya?” dia menatapku dengan sorot setengah ingin tahu, setengah meledek barangkali aku tak benar-benar tahu arti kalimat yang kuucapkan.
“Nggak tahu,” jawabku asal.
“Nggak mungkin nggak tahu,” Ardhana ikut-ikutan berpura-pura sewot.
Dia mengembalikan earphone ke telinga kananku kemudian kembali ke tempat
duduknya.
“Yaya…” Aku sedang mencoba menulis puisi ketika seseorang
sepertinya memanggilku. Aku melepas earphone-ku, menoleh ke belakang dan mendapati Ardhan berbicara tanpa suara,
“Kamu kurusan. Nanti aku traktir makan ya,” aku belum sempat menggeleng ketika
dia mengalihkan pandangannya ke arah jendela kelas.
“Tapi kan aku lagi diet, Dan,” aku berujar tanpa suara ketika
Ardhan sudah kembali menoleh ke depan.
Dia hanya mengangkat kedua bahunya pertanda tak mau tahu. Dia tersenyum penuh kemenangan yang tidak sedikit pun membuatku kesal. A man shouldn't have that kind of smile.
***
“Ya, tali sepatu,” Ardhan menunjuk ke arah bawah agar aku melihat
tali sepatuku yang lepas. Dia berhenti dan menungguiku mengikat tali sepatu.
“Memangnya kita mau makan di mana sih, Dan?” tanyaku sembari mengikat kencang tali sepatuku agar tidak kembali terurai.
“Hehe. Soto favoritmu. Tapi kamu harus makan 2 mangkuk. Kalau
nggak kamu bayar sendiri,” dia terkekeh.
“Ya udah aku pulang,” aku mempercepat langkah menuju parkiran
motor.
“Haha. Yaya gitu aja ngambek. Tiga mangkuk berdua deh. Satu
setengah mangkuk kuat kan?” Pria dengan tas punggung warna merah marun itu
memohon.
Kalau di dunia ini aku harus memberi penghargaan untuk orang di
luar keluargaku yang paling susah ditolak permintaannya, Ardhana Kawi sudah
pasti menjadi pemenangnya. Tiga mangkuk soto ayam tersaji di tengah-tengah
kami kini. Ardhan tidak bisa menahan tawa sebab dia pasti kini menyadari betapa
bodohnya ide ini. Kami terlihat seperti orang kelaparan atau orang yang sedang
menunggu seseorang lain hendak menyusul kami meski sebetulnya tidak.
Ardhana kini sibuk mengunyah soto sembari membaca buku. Sebab
saling mengetahui hidup masing-masing, tidak banyak hal kami perbicangkan
ketika sedang bersama. Kami masing-masing membaca buku sembari terkadang
membacakan kalimat yang kami anggap menarik dari buku tesebut. Dari atas buku
yang sudah hampir selesai kubaca, aku mengintip wajah seriusnya. Ardhana punya
kebiasaan unik. Jika aku adalah pembaca cepat, Ardhana sangat menikmati membaca
lambat seolah setiap kalimat memenjaranya. Entah karena kebiasaan itu atau
bukan, dia bisa mengingat secara detail kalimat di buku yang dibacanya—bahkan
bertahun-tahun kemudian. Entah karena kebiasaan itu atau bukan, aku menjadi yakin dia tidak akan sadar saat aku mencuri pandang.
Karena kebiasaan membaca lambat Ardhana itu pula, makan soto bisa
menghabiskan waktu satu jam. Seiring berjalannya waktu, aku menikmati menemani
seseorang yang membaca buku perlahan. Ketika aku sudah selesai membaca,
tumpukan halaman di sisi kanan bukunya masih beberapa. Aku bisa menatapnya
berwajah serius—Ardhana memesona ketika berwajah demikian-- dengan lebih lama.
Tahukah kamu hal yang paling menyenangkan sekaligus menyebalkan
dari menatap pria satu ini? Bahwa ketika dia mengalihkan pandangan dari bukunya
dan aku terlambat memindahkan pandangan, dia tidak sedikit pun menaruh
kecurigaan. Dia akan tersenyum terang dengan polosnya kemudian kembali membaca
buku. Sekali-kali curigalah padaku, Ardhan, agar aku terpaksa mengakui
keinginanku menemanimu membaca buku seumur hidup. Tetapi barangkali sebenarnya
aku bersyukur karena dia tidak pernah berpikiran lain tentang perhatianku saat
dia menyisir halaman-halaman buku. Dengan cara inilah aku bisa terus menatapnya. Saat ini,
hal itu saja cukup.
“Ardhan, kalau aku nulis puisi atau cerpen dari kejadian
sehari-hari kita nggak apa-apa kan? Maksudku kamu nggak keberatan atau mikir
aneh-aneh kan? Inspirasi kan biasanya ya dari orang-orang terdekat gitu,” aku
menaruh buku yang telah selesai kubaca.
“Hmmm,” dia mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang
hampir habis dibacanya. “Aku suka kok
jadi objek cerita,” wajahnya datar saja.
Aku tidak tahu apakah Ardhana benar-benar suka menjadi objek
cerita. Tetapi satu yang aku tahu, semisalnya dia enggan pun, dia akan tetap
berkata demikian kepadaku. Dia akan melakukan hal itu agar aku terus bisa
menulis. Katanya dia tidak mau musuh yang mudah dikalahkan. Oleh sebab itu, dia pasti akan mengiyakan segala usaha yang membuatku bisa menjadi musuh yang sepadan baginya.
“Memangnya cerita apa yang mau kamu tulis, Ya?” Ardhan akhirnya menaruh bukunya sebab selesai membacanya.
“Rahasia,”
“Halah sok rahasia. Nanti juga aku pasti tahu. Emangnya karyanya mau
kamu simpen sendiri?” dia mencibirku kemudian dengan wajah tanpa dosa
menyodorkan satu mangkuk soto yang sedari tadi tergeletak di tengah meja.
“Makan, Yaya. Makan. Biar cepet gede. Biar bisa ngerjain UAN, biar
bisa cepet nulis buku,”
“Katanya setengah,” protesku sambil menuangkan setengah—well, lebih
tepatnya ¾ isi mangkuk ke mangkuk yang telah dikosongkan Ardhan.
***
(2016)
“Mbak boleh nanya nggak? Kamu tahu lagu berbahasa Spanyol yang
liriknya ‘jam berapa ini hatiku’?" Aku mendatangi editor penerbitan di mana bukuku diterbitkan.
“Nggak, Dhan. Kenapa?” wanita bernama Rani itu mengerutkan kening.
“Aku mau jadiin itu judul puisi tapi nggak tahu itu lagu apa.
Kalau bahasa Spanyolnya 'jam berapa ini hatiku'?” aku masih berusaha mendapatkan
kalimat yang kuinginkan itu.
“Qué
hora es, mi corazón” ujar wanita lulusan sastra spanyol itu.
“Bukan Mbak. Kalau nggak salah inget ritmenya sama. Son, corazón, gitu”
“Ohhh.
Jamak maksudnya ya, Dhan? 'Qué horas son, mi corazón',”
“Iyaaaa,” aku kegirangan “Gini tulisannya?” Aku menyodorkan
ponselku.
“Nggak, Dan, ‘e’ di ‘que’ sama ‘o’ di ‘corazon’-nya gini,” Mbak
Rani mengetik ulang kedua huruf tersebut.
“Ohhh judul lagunya me
gustas tu.” Ujarku setelah menekan icon telusur pada mesin pencarian
google. “Artinya apa Mbak?”
“Aku menyukaimu,” Mbak Rani sudah kembali mengetik di laptopnya.
Aku bergegas mencari lirik dan terjemahan lagu tersebut untuk
mengembalikan ingatanku tentang lirik yang saat itu Raya ucapkan kepadaku.
“Me gusta soñar, me gusta tu.
Que voy a hacer?” aku membaca lirik
ini begitu ingat inilah lirik yang Raya perkenalkan kepadaku. Aku menyukai mimpi, aku menyukaimu. Apa yang
harus kulakukan? Aku tersentak.
Bagaimana jika waktu itu Raya memang benar-benar ingin mengatakan itu kepadaku hanya
saja bersembunyi dengan dalih ini adalah lirik sebuah lagu?
***
“Adan,” suara seseorang yang sangat kukenal mengetuk pintu
apartemen yang kusewa. Aku bergegas membukakan pintu untuk memastikan aku tidak
salah mendengar.
“Surprise! Adan, aku keterima kerja di Jakarta. Aku harus
nanya-nanya sama kamu sebagai orang yang udah lama jadi anak ibukota,” ujarnya
riang.
“Yaya, kapan sampai Jakarta?” aku masih belum yakin seseorang yang
berdiri di depanku adalah Raya sebab dua alasan. Pertama, tentu karena tidak
tahu bahwa dia di Jakarta.
“Katanya hari ini kamu mau tanda tangan buku. Tadi ibu cerita
sekalian pas ngasih alamat tinggalmu ini. Boleh aku bantu? Seenggaknya aku bisa
masuk-masukin bukunya ke kardus,” Raya tidak menjawab pertanyaanku.
Aku membeku meski pertanyaannya teramat mudah dijawab.
“Break kita udah
selesai, Ya?” alasan kedua mengapa Raya sepertinya tidak mungkin berada di depanku
saat ini.
“Hmmm,” dia mengangguk yakin.
“Kenapa?” aku refleks saja bertanya.
“Karena sekarang aku udah bisa melihat kamu sebagai temen,”
senyumnya lepas seperti baru saja terbebas dari hukuman penjara tahunan. Aku
masih membeku meski ucapannya seharusnya membuatku senang.
“Masuk, Ya,” aku memiringkan badanku agar Raya bisa melewati
pintu.
“Maaf ya, Dan, ternyata lama banget break-nya. Bahkan saat aku udah ngebuka block kontakmu, aku masih pengen berjarak. Aku tahu kamu kesel. Aku
sadar aku nggak dewasa banget ngadepin situasi itu. Mungkin karena waktu
itu kita masih muda banget jadi kurang bijak mikirnya. Sekarang aku mau
membalas kesalahanku di masa lalu. Let’s
be friends again,” Raya yang baru saja mengambil kursi yang letaknya paling
dekat dengan pintu memberondongku dengan banyak kalimat.
Sayangnya otakku sedang enggan berpikir. Siapa yang tahu bagaimana reaksi yang tepat saat seseorang yang mengajak gencatan senjata kini mengajak berdamai? Siapa tak takut bila kedatangannya ke markas kita bukan benar-benar untuk berdamai tetapi justru memulai perang? Sebab tidak tahu apa yang harus kukatakan, aku bergegas mengeluarkan buku di
kardus kemudian mulai menandatangani satu per satu buku. Aku menyadari Raya
menatapku menunggu jawaban tetapi aku tidak memiliki jawaban.
“Aku beneran minta maaf nggak dateng bedah bukumu, nggak pernah
main meski tahu kamu pas di rumah, nggak pernah nanya kabar kamu lagi.
Aku tahu aku egois, Dan. Kamu masih marah soal ...” dia memelankan suaranya.
“Nggak apa-apa, Ya,” aku memotong kalimatnya. Aku tidak ingin Raya berbicara lebih jauh lagi. Kepalaku sudah cukup pening mencerna kalimat-kalimat darinya yang belum sempat kupikirkan jawabannya. Entah kalimatku
terdengar dingin atau bagaimana, Raya benar-benar berhenti berbicara.
“Kamu sama Putri gimana?” setelah suara pena saja yang berbunyi
selama bermenit-menit, Raya akhirnya kembali berbicara.
“Nggak gimana-gimana. Kami udah nggak pernah ngobrol lagi,” Aku
menjawab sekenanya. Aku enggan membahas Putri. Aku enggan membahas tentang perempuan. Setelah dua tahun lalu Putri memutuskan untuk
mengatakan selamat tinggal, aku tidak ingin mengucapkan selamat datang pada
perempuan mana pun. Bahkan meski itu Raya--seseorang yang bahkan jika aku harus merahasiakannya dari seisi dunia, aku masih akan mengabarinya, sebenarnya aku tidak ingin mempersilakannya masuk ke dalam kehidupanku dulu. Tetapi seseorang hanya bisa berharap. Takdir akan bekerja dengan caranya sendiri.
Suasana kembali hening. Hanya ada suara penaku menggores buku-buku
dan Raya menangkat tumpukan buku ke dalam kardus.
“Mulai sekarang kamu bisa cerita sama aku, Dan, apa aja yang kamu
rasain. Aku bakal dengerin semua cerita kamu. Aku bakal bantuin kamu sebisaku.
Kita kan keluarga,” Raya duduk melantai di depanku.
“Hmmm,” aku mengangguk. Perasaanku terlalu karut marut melihat
Raya tiba-tiba datang mengoyahkan kehidupanku yang sudah stabil tanpanya. Raya tidak tahu bahwa sejak mendengar suaranya mengetuk
pintu tadi, air mata menggantung di sudut mataku. Aku telah terbiasa kehilangan seseorang yang
selama ini selalu membantu meringankan beban selama belasan tahun. Aku sudah ikhlas kehilangan seseorang yang selama ini menyangga batinku saat terjerembab
ke kubangan. Bagaimana aku tidak hendak menangis ketika dia datang lagi
menawarkan hubungan yang lama untuk kembali dihidupkan. Bagaimana aku tak disekap kekhawatiran aku akan memiliki ketergantungan terhadap Raya lagi sementara aku tidak bisa menjamin dia tidak akan pergi lagi sewaktu-waktu. Hatiku terlalu kebingungan untuk merasa apakah aku menginginkan Raya di sini saat ini.
“Sejak kapan sih Ardhana Kawi jadi orang yang cengeng,” dia meledek
mataku yang memerah. “Kamu jelek kalau nangis,” ledeknya kembali.
Aku tidak pernah tahu bahwa aku hanya berpura-pura baik-baik saja selama ini. Aku membohongi
diriku bahwa tak masalah bagiku Raya berada dalam jarak yang dekat atau jauh.
Kenyataannya, selama ini seperti ada sesuatu yang membebani pikiranku hanya
saja aku tidak mempedulikannya sampai aku terbiasa menanggungnya sampai aku
lupa aku memikulnya.
“Jangan pernah minta break
lagi ya, Ya,” aku menangis sesegukan seolah seluruh luka yang memenuhi pikiranku
dan tidak pernah bisa kubagi dengan siapapun karena seseorang yang biasanya
mendengarkan segala keluh kesahku itu meminta jarak hari ini luruh begitu saja.
Aku menangis seolah seluruh beban yang kutanggung sendirian selama Raya tidak
membersamaiku hari ini akhirnya tumpah.
Wanita di depanku itu hanya mengangguk. Matanya memerah seolah dia
berusaha sangat keras agar tidak menangis di depanku. Bahunya naik turun seakan bernapas saja saja terasa sulit baginya.
“Ardhan, aku mau kenalin kamu sama seseorang,” aku melihat usaha
kerasnya untuk berujar kalimat yang barusan kudengar. “Sebagai keluarga, kamu
harus kenal seseorang yang akan menjadi bagian dari keluargaku,” ujarnya masih
dengan air mata yang menggantung di sudut mata.
Aku mengangguk. Hanya saja aku tidak tahu bahwa anggukanku
menggugurkan air mata yang sebenarnya sudah berhasil kuhentikan.
---
(to be continued)
0 Comments:
Post a Comment