KAWI
- February 25, 2020
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 8: TERIMA
KASIH
source: tumblr.com |
(2018)
(Raya’s POV)
Aku sedang hendak menutup pintu apartemen Ardhana seusai kami
bertengkar ketika gerakan cepat tangannya tiba-tiba menahan pintu itu.
“Sebelum besok aku ke stasiun, aku mau tanya sesuatu, Ya. Siapa
yang lebih pengen kamu pertahanin, aku atau Kang Raka? Karena mungkin kamu akan
benar-benar kehilangan salah satunya besok.” Ardhana yang selalu berbicara
dengan percaya diri kini terdengar sama sekali tidak percaya diri. Senyum
patahnya mengiris batinku hingga jatuh berkeping-keping. “Aku udah tahu
jawabannya tapi tolong ucapin lagi supaya langkahku lebih ringan,” dia
tersenyum satire.
Aku menghela napas penuh ketidakpercayaan sebab bagaimana mungkin
Ardhana mempertanyakan sesuatu yang sangat jelas jawabannya. Saat ini, hatiku
remuk untuk mengatakan kejujuran maupun kebohongan. Di dunia nyata, barangkali
kejujuran tidak sejalan dengan keinginan. Tentu tidak seorang pun mengungguli
Ardhana. Tidak ada seseorang pun yang bisa melebihi apa yang sudah dia lakukan
dalam hidupku. Tapi aku bisa apa? Lagipula, Ardhana, bukankah kau pernah
berkata bahwa kita harus mengusahakan dua-duanya terlebih dahulu? “Kalau bisa
dua-duanya, diusahakan dulu deh Ya. Memilih itu hanya setelah kamu berusaha,”
ketika aku bimbang ingin ikut ekskul majalah sekolah atau karya tulis ilmiah. Siapa
menyangka kau akan jadi lelaki yang mematahkan kepercayaanku bahwa aku bisa
mengusahakan kedua hal yang penting bagiku?
“Apapun jawabannya, memangnya kenapa? Kedua jawaban bukannya akan
mengecewakan kamu, Dan? Kenapa sih kamu suka mempertanyakan sesuatu yang kamu
nggak butuh jawabannya?” Aku akhirnya berucap.
Ardhan mengangguk perlahan kemudian melepaskan pintu yang
dipegangnya. Gerakan perlahan daun pintu mendekati kusennya itu berderit
kencang seolah menertawakan keputusanku berdiri di tengah-tengah alternatif
jawaban yang ada. Barangkali ada sesuatu yang sangat aku takuti: menyampaikan bahwa aku ingin mempertahankan seseorang lain sementara hatiku berkehendak lain.
Aku pun menyadari betapa menyeramkannya ketika seseorang yang sangat berharga melepas genggaman tangannya dari hidup kita. Pintu yang telah sepenuhnya menutup itu seolah mmengabarkan aku tidak lagi berpijak di bumi yang sama dengan Ardhana. Kesadaran memukuliku. Bagaimana mungkin semudah itu aku mengucapkan selamat tinggal pada Ardhana?
Aku pun menyadari betapa menyeramkannya ketika seseorang yang sangat berharga melepas genggaman tangannya dari hidup kita. Pintu yang telah sepenuhnya menutup itu seolah mmengabarkan aku tidak lagi berpijak di bumi yang sama dengan Ardhana. Kesadaran memukuliku. Bagaimana mungkin semudah itu aku mengucapkan selamat tinggal pada Ardhana?
“Buatku kamu lebih penting dari semua orang di dunia, Ya,”
ucapannya saat SMP terngiang di telingaku. Kala itu, Ardhana memenangkan
kompetisi menulis puisi yang dikhususkan bagi siswa SMP di kabupaten kami untuk
pertama kalinya. Dia berlari menghampiriku yang hari itu izin sekolah demi
menemaninya mengambil trofi kemenangannya. Dia mengucapkan kalimat yang di
kemudian hari aku ingat-ingat setiap aku merasa tidak penting.
“Ibumu? Bapakmu? Mas Arga? Mereka nggak lebih penting?” Aku
meledeknya.
“Maksudku selain keluargaku. Kamu paling penting nomor empat
setelah mereka,” tegasnya sembari tertawa bodoh.
Kamu juga
Dhan, setelah keluargaku, kamu lebih penting dari semua orang di dunia. Tetapi
aku tidak bisa menyetir takdir semauku. Aku melangkah menghampiri lift apartemennya untuk meninggalkan
segala perkara dengan Ardhana.
Tetapi Adan, aku bersyukur kamu memiliki perasaan lebih kepadaku
meski sekarang semuanya terlambat. Aku selalu memimpikan kamu memiliki
perasaan kepadaku bertahun-tahun lamanya dulu.
Adan, dulu kamu pernah bilang bukan, “Yaya, semoga kita tidak pernah
merasa terlambat untuk apapun,” di awal-awal masa kita kuliah dan aku
menceritakan kegundahanku tak kunjung bisa menulis buku. Aku tahu, Dan, kamu
tetap menyampaikan perasaanmu kepadaku sebab tak ingin merasa terlambat. Terima
kasih telah memberikan hatimu untukku, Ardhana.
***
(2019)
Setahun bekerja sebagai seorang copy editor, penerbitan tempatku bekerja
tiba-tiba menawarkanku untuk menerbitkan bukuku sendiri. Mereka tertarik ketika
suatu hari aku secara iseng menunjukkan sebuah naskah yang sudah kugarap sejak
awal kuliah. Aku sampai tidak ingat lagi, berapa kali aku mengedit karya ini
hingga akhirnya berani menunjukkannya kepada sang editor akuisisi, editor yang
bertugas menyeleksi naskah masuk. Dua minggu yang lalu, akhirnya aku merilis
buku pertamaku. Aku beruntung didukung oleh strategi promosi yang menarik dari
pihak penerbit. Kini bahkan aku mendapat undangan dari Perpustakaan Kemenkeu
untuk acara Festival Literasi mereka. Aku sedang mengedit sebuah naskah seorang
penulis terkenal yang selalu menerbitkan buku di penerbitan ini ketika akhirnya
aku menyadari layar ponselku telah berkali-kali menyala. Ketika aku mengecek,
ada beberapa pesan whatsapp masuk, salah satu di antaranya dari nomor yang
tidak aku simpan tetapi aku pernah sengaja menghafalnya sehingga otomatis tahu siapa
gerangan pemiliknya. Suatu saat hp Ardhana kehabisan baterai ketika kami
terpisah di sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di jalan Maliboro. Masih
berseragam sekolah, kami saling mencari hingga akhirnya bertemu di Gramedia.
“Adan, mulai sekarang kamu harus hafalin nomor hp-ku jadi kalaupun hp-mu mati,
kamu masih bisa ngehubungin aku,” yang hanya disambut senyum tak bersalah, “Iya
maaf, Yaya. Kamu juga hafalin nomorku ya.”
Aku menghela napas panjang. Tak
terasa setahun sudah aku tidak mengobrol dengannya,
Ya, aku diundang bedah buku di Kemenkeu. Katanya km udah confirm
bakal dateng. Km keberatan kl aku dateng?
Aku meletakkan ponselku,
membiarkan jariku mengetuk-ketuk meja sembari memikirkan jawaban yang harus
kulontarkan.
Dhan, aku nggak akan menghentikanmu mengejar mimpimu.
***
(Ardhana’s POV)
Aku memandangi jam di tanganku
sembari berkali-kali melihat ke arah pintu ruang tunggu. Aku hanya bisa setengah berkonsentrasi pada briefing yang diberikan moderator dan panitia. Ketika moderator acara
ini memberitahukan bahwa 10 menit lagi kami akan naik panggung, aku
memberanikan diri bertanya.
“Mbak Raya Gauri nggak jadi
dateng?” aku berusaha terdengar senetral mungkin. Aku tidak dapat
menyembunyikan kekecewaan jika Raya membatalkan kedatangannya hanya karena aku. Di masa lalu, Raya sudah pernah lari dariku, jadi tak heran jika kali ini dia akan melakukan hal yang sama. Kalau memang Raya tidak ingin bertemu,
mengapa tak aku saja yang mengalah?
“Lho, Mas Ardhana belum tahu kalau
beda sesi sama Mbak Raya? Mbak Raya ada di sesi setelah Mas Ardhana.”
Seharusnya tidak kecewa tetapi
ternyata aku tidak bisa tidak merasakannya. Tetapi aku yakin kini kekecewaan tidak terpancar jelas dari wajahku. Waktu sungguh mendewasakan seseorang. Kini aku tidak lagi merasa uring-uringan ketika bedah buku dan tidak melihat Raya di bangku penonton. Aku juga tidak terlalu kecewa karena tidak berada di sesi yang sama dengannya. Perlahan, semua akhirnya berjalan biasa saja.
“Boleh saya minta tolong sesuatu? Saya
kan nanti kemungkinan diminta foto dan tanda tangan setelah acara. Kalau nanti
Mbak Raya sudah sampai, tolong kasih tahu manajer saya ya,” aku merasa perlu
bertemu dengannya walau sebentar. “Mau minta tanda tangan Mbak Raya,” jelasku
sembari tersenyum agar permintaanku tidak terdengar aneh.
Maka ketika manajerku menepuk
bahuku membisikkan bahwa Raya baru saja sampai, aku bergegas undur diri dari
melayani permintaan foto dan tanda tangan. Aku setengah berlari menuju ruang
tunggu kemudian berhenti ketika sudah mendekati ruangan itu. Aku mengatur napas
sebelum benar-benar memasukinya.
***
(Raya’s POV)
“Raya…” suara itu mengirim getaran ke relung sanubariku. Sekian
lama tidak mendengar suaranya, sekali mendengarnya kembali aku merasa lantai
hatiku berguncang.
Aku menoleh untuk mendapati Ardhana berdiri di depan pintu. Dia
meminta izin kepada panitia yang sedang mem-briefing-ku
untuk berbicara denganku sebentar. Yang diajak bicara mengangguk kemudian
keluar dari ruangan. Tersisa kami berdua di ruangan yang tidak terlalu luas
itu.
“Syukurlah kamu dateng. Aku kira kamu batal dateng karena aku di
sini. Aku pasti merasa bersalah banget,” kaos turtleneck berwarna navy yang
dipakainya tidak bisa menyembunyikan napasnya yang sedikit tidak beraturan. Dia
mengeluarkan sebuah buket bunga dari paper bag yang terletak di dekat tas
berwarna marun. Someone's maroon obsession really told me whose bag is that.
“Jangan salah paham ya. Aku ngasihin ini karena dulu aku janji
kalau kamu rilis buku, aku bakal bawain kamu bunga,” dia menyodorkan seikat
mawar putih kepadaku.
“Makasih ya, Dhan,” masih berusaha mencerna apa yang terjadi, aku
menerimanya. Dia mengangguk kemudian mengemasi barang-barangnya. Di antara
barang-barang yang dikemasinya, aku melihat sebuah paper bag penuh berisi permen Yupi.
“Fans kamu masih suka bawain Yupi?” aku hanya iseng bertanya demi
membunuh udara kekikukan di ruangan itu.
Dia mengangguk. “Kamu mau? Aku nggak bakal bisa ngabisin semua
juga kok,” dia menyodorkan paper bag
itu untuk membiarkan aku mengambil isi di dalamnya. Aku buru-buru menggeleng.
“Takut gigiku rusak,” aku tertawa kecil yang pasti terdengar canggung.
Dia menarik tas itu menjauh dariku. Aku menyadari perubahan raut
wajahnya yang kebingungan beberapa detik kemudian tersenyum. Dia masih sibuk berkemas-kemas
ketika kudengar dia berbicara.
“Maaf ya, Ya. Aku egois banget kalau sesuatu itu berhubungan sama
kamu seolah kamu nggak boleh dibagi. Padahal kan mau kamu sama Kang Raka pun,
aku masih bisa jadi temenmu,” jika tidak karena isi pembicaraaannya, mungkin aku
tidak tahu jika dia sedang berbicara denganku. “Kenapa ya kita suka bersikap bodoh gitu. That’s
a part of youth kali ya ngrasa harus menang atas apapun yang kita mau.” Matanya tetap sibuk memasukkan
barang-barang ke tas. Aku mengangguk meski tahu bahwa dia tidak melihat ke
arahku saat ini. Keheningan kami terpecahkan ketika sebuah suara datang dari
arah pintu mempertanyakan apakah sesi briefing
dapat dilanjutkan. Ardhana mengangguk.
“Aku pulang duluan ya. Ditunggu buku keduanya,” dia membalik badan
dan berlalu membawa beberapa paper bag
di tangannya.
“Terima kasih ya, Mbak.” dia menyalami panitia yang sudah
mengizinkan kami mengobrol sebentar.
Aku memandangi bunga di tanganku hingga kemudian menemukan kartu
ucapan yang terselip di tangkai buket bunga pemberian pria yang baru saja
pulang itu. Kubuka kertas mungil itu untuk mendapati ucapan yang membuatku
tertegun.
Yaya,
In time you
started having a fans club, let me be the first member.
(Aku sudah
menyiapkan kalimat ini sejak lama tetapi kenapa baru sekarang kamu rilis buku sih.)
***
“Ya, demi apa kamu bisa bedah buku di acara yang sama kaya
Ardhana. Nyesel banget aku nggak bisa dateng. Kamu sempet ngobrol sama Ardhana
nggak?” Aini yang baru saja datang menarik kursi dan menghujaniku dengan topik favoritnya tapi bukan topik favoritku.
“Beda sesi kali…” aku menjawab sekenanya.
“Hih ekspresi kamu kalau orang lain lagi ngomongin Ardhana datar
banget,” sahabatku yang juga diterima bekerja di Jakarta itu masih saja kesal
setiap aku terlihat tidak tertarik membahas Ardhana. “Btw, padahal aku mau
bawain Yupi buat Ardhan,”
Aku menoleh begitu mendengar brand kembang gula favorit Ardhan itu
disebut.
“Emangnya terkenal banget ya obsesi Ardhana ke permen itu?”
“Dia pernah bilang di sebuah wawancara buat majalah, apa hal
sederhana yang bikin dia bahagia dan dia jawab permen Yupi. Dia juga bilang
kalau dia pernah ada di titik di mana nggak mau membagi permennya itu ke
siapapun meski dia beli banyak. Sejak itu fansnya suka ngirimin dia Yupi.”
Jelasnya panjang lebar seolah aku benar-benar harus mengetahui informasi ini
secara mendetail.
Aku hanya tersenyum sebab tidak tahu harus mengucapkan apa.
“Kamu ini fans macam apa sih nggak tau serba-serbi Ardhana. Cuma
koleksi bukunya tapi nggak pernah tertarik soal orangnya?” Aini menyikutku.
Aku hanya tersenyum sekali lagi. Terselip perasaan yang begitu
menyenangkan mengingat masa lalu meski kini kami tidak lagi menjadi teman
dekat. Ada terlalu banyak masa yang kulewati bersama Ardhana sehingga apa-apa
dari Ardhana yang sebenarnya remeh untuk orang lain, adalah sesuatu yang penting
untuk kuingat.
***
(2010)
“Ya, besok sore wawancara buat PENA. Kamu juga kan?” Ardhana
menunjukkan sms pemberitahuan jadwal wawancara yang diterimanya ketika kami
berjalan bersama ke kantin sekolah. PENA adalah nama majalah sekolah kami.
Aku menggeleng. “Kok aku nggak dapet sms buat wawancara ya? Dan
pas aku tanyain ke panitianya mereka bilang nggak nerima email pendaftaranku,”
“Kamu yakin udah ngirim lengkap sama contoh tulisanmu kan?”
Aku mengangguk yakin.
“Nanti aku ngomong deh sama pemrednya. Aku nggak njamin hasilnya
berubah terus kamu dikasih kesempatan wawancara tapi seenggaknya panitianya
harus tahu kamu ngirim. Kita usaha dulu,” Ardhan berujar penuh semangat.
“Udah lah, Dhan. Ini tuh cuma perkara jadi redaksi majalah. Nggak
jadi redaksi pun aku masih bisa ngirim tulisan ke PENA kan?” kenyataannya aku
tidak ingin merepotkannya. Aku tak ingin
Ardhana membuat kegaduhan apalagi kami baru dua minggu yang lalu menjadi siswa
sekolah ini.
“Kamu nggak kecewa?” Nada bicaranya mengguratkan keterkejutan.
“Nggak kok. Yang penting aku masih bisa nulis. Lagi pula tahun
depan aku masih bisa daftar kan,” aku berusaha tersenyum.
“Ini mimpi kamu, Ya, jangan bersikap semasa bodoh itu,” pria di
sampingku pasti baru saja menaikkan nada bicaranya.
Aku menoleh untuk mendapati tatapannya yang tidak mudah diterjemahkan.
Ada kedalaman yang tercermin di dua bola matanya. Kami melangkah hening
kemudian tersibukkan memilih jajan yang ingin kami beli.
“Adan,….” Aku menghampirinya yang baru selesai membayar.
“Hmmmm” dia mengimbangi kecepatan berjalanku kembali ke kelas.
Kelas kami memang bersebelahan.
“Aku kecewa. Aku pengen marah sama panitianya. Mereka nggak
seharusnya bermain-main sama mimpi orang lain,” setelah berpikir singkat
mengenai ucapan Ardhana, aku memilih untuk jujur mengenai apa yang aku rasakan.
Dia tersenyum. Dia menangkupkan kedua tangannya sehingga berbentuk
seperti cawan kemudian menyuruhku menirukannya. Dia memasukkan tangan ke dalam
sakunya kemudian menaruh beberapa bungkus Yupi ke tanganku.
“Kebanyakan permen katanya bikin gigi rusak. Buat kamu aja,” dia
kemudian tersenyum. Di tangannya terjinjing kantung plastik berisi beberapa
kudapan tetapi permen berbungkus pink ini jelas yang paling disukainya. “Jangan
sedih. Nanti aku protesin ke pemrednya,” ucapnya setengah berbisik.
Aku mengangguk. Meski tidak berhasil pun, aku senang Ardhana
meneladankan kepadaku untuk tidak mudah menyerah. Ingin rasanya suatu nanti aku
berkata kepada ibuku untuk menyampaikan ini kepada Ardhana: “terima kasih sudah
melindungi mimpi Raya,”. Aku terlalu malu untuk mengucapkannya sendiri
kepadanya. Ada banyak kata terima kasih yang tidak terucapkan karena aku
terlalu tertutup mengenai perasaan. Bahkan jika aku harus mengucapkan seribu ungkapan terima kasih
pun, itu sepertinya tidak cukup melunasi semua kebaikan Ardhana kepadaku di
masa lalu.
***
(Ardhana POV)
Dalam perjalanan pulang, aku teringat buku yang Raya berikan ketika
aku berkemas-kemas. Aku sedang membaca tulisan di halaman pertamanya ketika
ekspresiku berubah hambar sampai-sampai manajerku menyadari perubahan raut
wajahku. Lelaki bodoh mana yang tenggorokannya tercekat hanya sebab melihat
sebuah ucapan sederhana seperti ini jika bukan aku. Kenyataan bahwa perasaanku
teraduk-aduk sebab melihat tulisan tangan Raya yang sangat kukenali itu kini
terdengar seperti situasi yang didramatisasi meski sebenarnya tidak. Aku
berharap dia menulis sesuatu yang lebih personal—bahkan meski kami tidak lagi
berteman tetapi kami telah menghabiskan belasan tahun bersama—tetapi ternyata
memilih untuk menulis ucapan yang paling umum dan paling biasa diucapkan kepada
pembaca.
Ardhana,
Terima kasih.
Raya
Ardhana,
Terima kasih.
Raya
0 Comments:
Post a Comment