KAWI
- February 11, 2020
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 7: DO YOU KNOW WHAT’S SO UNFAIR ABOUT THIS?
source: tumblr.com |
(Ardhan’s POV)
“Adan,” suara seseorang yang sangat kukenal mengetuk pintu apartemen yang kusewa. Jantungku berdenyut cepat tidak hanya karena tidak meyakini akan kembali mendengar suaranya memanggil namaku tetapi juga sebab aku tidak siap untuk menemuinya tanpa berkeinginan berterus terang.
“Break kita udah selesai, Ya?” aku berusaha terdengar setenang mungkin meski darahku berloncatan melihatnya lagi setelah sekian lama merasa seperti orang yang paling dia hindari.
“Hmmm,” dia mengangguk yakin. Bagaimana aku bisa mengabaikan kenyataan bahwa caranya mengiyakan sesuatu itu selalu berhasil membuatku tersenyum.
“Kenapa?” aku refleks saja bertanya masih dengan usaha sekuat tenaga menahan senyum yang membanjiri pikiranku.
“Karena sekarang aku udah bisa melihatmu sebagai temen,” senyumnya lepas seperti baru saja terbebas dari hukuman penjara tahunan. Aku membeku meski ucapannya seharusnya membuatku senang.
“Oh ya, minggu depan kamu nonton bedah bukuku ya,” aku meminta di tengah kesibukannya membolak-balik halaman bukuku.
“Masih dendam ya aku nggak pernah dateng bedah bukumu? Iya deh aku dateng. Awas ya kalau bukunya nggak bagus,” dia merapikan tumpukan buku yang sudah kutandatangani.
“Sejak kapan aku rilis buku jelek?” aku meledek. "Yang jelek itu kalau nggak kunjung rilis buku meski kuliahnya jurusan sastra," aku tertawa lepas. Dia melempar tatapan aku-akan-memakanmu-hidup-hidup yang hanya kujawab dengan tertawa lebih keras.
“Sejak kapan aku rilis buku jelek?” aku meledek. "Yang jelek itu kalau nggak kunjung rilis buku meski kuliahnya jurusan sastra," aku tertawa lepas. Dia melempar tatapan aku-akan-memakanmu-hidup-hidup yang hanya kujawab dengan tertawa lebih keras.
"Makanya jangan cuma baca komen-komen positif," dia menghinaku balik. "Baca juga dong komen ‘dia penulis yang modal tampang doang’, ‘Nggak pantes sih dia seterkenal itu. Banyak penulis yang lebih bagus’, ‘ Cheesy!’, ‘Menye-menye’,” Raya seolah sudah menghafal semua komentar jahat yang kuterima.
“Wah, kamu hafal banget ya. Jangan-jangan kamu juga salah satu hater-ku. And also thank you for pointing those negative comments out,” Aku tertawa.
“Look! Dulu kamu khawatir sama komen-komen jahat kalau mau rilis buku. Sekarang kamu udah bisa becanda soal itu. Artinya kamu pantas di posisi ini. Kamu kuat ngadepin angin yang menerpa dan menghantam. Padahal tadinya aku mau menghibur dengan bilang ‘Jangan dipikirin’ tapi kayanya kamu jauh lebih kuat dari itu,” Raya tiba-tiba berubah serius.
“Awalnya sih sakit hati. Cuma lama-lama capek kalau dipikirin. Toh banyak juga yang mengapresiasi bukuku jadi ya sudahlah aku fokus ke yang melihatnya secara positif aja,” aku melanjutkan kegiatan menggoreskan pena di halaman pertama buku terbaruku.
Aku berharap Raya segera melempar kata-kata tetapi aku tidak mendengar apapun beberapa detik kemudian. Aku mengangkat pandanganku dari buku untuk memastikan apa yang sedang dilakukan perempuan di depanku. Dia tengah tersenyum memandangi buku-buku yang usai kutandatangani tertumpuk di depannya. Raya pasti sedang mengingat-ingat ketika semua ini masih menjadi sebatas mimpi yang kami perbincangkan dengan riang di masa lalu. Kebanggaan terpancar jelas dari wajahnya dan aku tahu itu bukan semata-mata sebab aku berhasil berjalan sejauh ini tetapi juga sebab aku mampu menyusurinya dengan tegap. Sahabatku itu pernah berkata bahwa pengembangan pribadi lebih penting ketimbang pengembangan karir dan senyum tulusnya saat ini mengabarkan semuanya. Barangkali menyadari aku mengamatinya tanpa putus, dia turut mengangkat pandangannya hingga tatapan kami bertemu.
“Aku beneran bukan hater-mu. Jangan ngliatin aku begitu,” mata bulatnya menghakimiku.
Aku hanya tertawa pada ketidakmengertian Raya mengapa aku menatapnya demikian.
“Lagian ya, Ya, kalau seluruh dunia harus berubah jadi hater-ku pun, kamu pasti bakal jadi yang terakhir berubah,” deep down I know that.
“Jangan terlalu yakin, barangkali aku yang bayar para hater-mu buat komen kasar,” dia mengerling.
“Hahahaha,” aku hanya tertawa sambil menggeleng heran mengapa Raya masih saja memaksakan kemungkinan dia menjadi hater-ku.
“Btw, Dan, kamu makannya masak apa beli?” Raya beranjak melihat dapur yang terletak di samping ruang tamuku.
“Beli lah, Ya. Masak paling mie instan sama telur ceplok,” ekor mataku mengikuti langkah kakinya.
“Hahaha. Inget nggak sih dulu Budhe sering ngomel-ngomel kalau kita jajan di luar. Budhe bakal bilang ‘duit segitu jadi sepanci kalau ibu yang bikin,’ dan kita cuma cekikikan,” tawa isengnya masih terdengar seiseng biasanya.
Aku mengalihkan tatapan dari buku ke arah dapur kecil di mana Raya sedang menyusuri rak-raknya. Mendengarnya menuturkan masa lalu kami, masakan-masakan yang dia pelajari selama kuliah, dan hal remeh lainnya terasa sangat nyaman di telingaku.
“Yaya udah makan?” aku menutup buku terakhir yang harus kutandatangani kemudian memasukkan tumpukannya ke dalam kardus.
“Nggak laper sih,” Raya mengakhiri kegiatannya melihat-lihat dapurku. “Udahan tanda tangannya?” dia menghampiri tasnya yang tergeletak di sofa.
“Boleh temenin aku makan?” aku terdengar ragu meski merasa perlu menghentikan niatnya untuk segera pulang. “Masih pengen ngobrol sama kamu, Ya, saking lamanya kita nggak ngobrol,” aku mencoba menahannya tanpa berusaha menahannya.
“Hahaha,” Raya tertawa meledek. “Bilang aja emang nggak suka makan sendiri. Dari kecil nggak berubah ih,” Raya belum puas meledek.
Meski memprotes, dia melangkah kembali ke arah dapur. Aku bergegas menarik kursi untuknya sebelum ia berubah pikiran. Kami duduk berhadapan berbatas meja makan kecil.
“Inget nggak sih, Dan, waktu kita SMP, Mas Arga pernah ngusir kita dari rumah gara-gara berisik,” Raya tertawa lepas. Ada kehangatan khas yang tidak bisa dihadirkan orang lain ke dalam sebuah ruangan kecuali oleh Raya sendiri. Familiaritas memang mengerikan.
“Gara-gara kita berisik ngerjain PR dan Mas Arga lagi nulis,” Aku menyaut sembari menuangkan soto yang barusan kuhangatkan sejenak di kompor.
“Ternyata pas aku kuliah dan punya banyak deadline tugas bikin tulisan, baru paham kalau kesunyian itu esensial banget buat penulis,” Raya menopang wajahnya dengan kedua tangan yang bertumpu di meja.
Aku mengangguk sekenanya sebab sebagian diriku menyetujuinya sementara sebagian lainnya menolak. Aku memang suka keheningan selama menulis tetapi selain itu aku sebenarnya lebih menyukai keberadaan orang lain di dekatku—untuk saling bercerita dan mendengar, atau bahkan sekadar mengetahui seseorang ada di ruangan yang sama denganku.
Khusus untuk Raya, dia memiliki nilai lebih karena kami bisa saling bercerita dan mendengarkan tanpa perlu banyak menjelaskan. Juga, ada terlampau banyak waktu yang kami habiskan bersama di masa lalu hingga kami tahu topik mana yang menarik untuk kami perbincangkan.
“Kenapa kamu masih suka makan ditemenin sih, Dan? Bukannya setelah terkenal, kamu harusnya jadi ‘lapar’ me time gitu ya? Ada banyak banget orang yang harus kamu temui, kenal atau nggak, yang akhirnya bikin kamu pengen punya waktu sendiri bukannya?” matanya hanya menatap biasa tetapi entah mengapa aku merasa terteror.
Aku tak menjawab melainkan sibuk perlahan menyuap soto di hadapanku. Aku berharap waktu melambat meski sebenarnya pertanyaan Raya membuatku ingin lekas selesai makan.
“Aku lebih lapar punya deep conversation, Ya,” aku akhirnya berujar setelah Raya berpanjang lebar menjelaskan kehidupanku dari sudut pandangnya. “Nggak peduli seberapa banyak orang yang kamu temui, pada akhirnya kamu cuma pengen ngobrol sama segelintir orang yang dengannya kita bisa punya kualitas ngobrol...” aku mencari ucapan yang tepat, “...kaya gini misalnya. Ngobrolin keluarga, ngobrolin masa kecil, ngobrolin mimpi yang nggak diketahui banyak orang,.... Obrolan sederhana yang penuh arti sama orang yang nyambung banget sama kita.” aku berhenti berujar melihat perubahan ekspresi Raya.
“Kamu kedengeran kaya orang yang kesepian banget di tengah keramaian.” Ucapan Raya yang merubuhkan segenap usahaku untuk tidak berterus terang tentang kesepian yang menderaku. “Maaf ya, Dan, aku ngilang segitu lama tanpa peduli gimana perasaanmu. Buatku yang introvert, nggak ada kamu mungkin nggak sebesar efeknya dibanding kamu ketika kehilangan temen ngobrol.”
Aku menunduk. Ada air mata yang hendak bergulir tanpa meminta izin terlebih dahulu. Raya benar, aku kerap merasa kesepian bahkan di tengah keramaian. Ketika aku kembali dari kerumunan dan memasuki kamar—aku merasa begitu sendirian: kesepian yang mungkin tidak pernah bisa dipahami oleh orang lain sebab mereka merasa kehidupanku justru gaduh. Kesepian semacam ini hanya bisa diobati dengan keberadaan orang-orang terdekat saja.
“Jadi kapan Ardhana Kawi akan bosen makan soto?” ucapannya yang memecah gelembung yang aku diami beberapa menit terakhir ini. Tanpa sadar aku tersenyum memandangi soto di mangkukku yang sengaja aku makan perlahan agar Raya tidak terlalu cepat pergi. Raya selalu tahu, jika aku tidak menjawab, aku memang tidak ingin menjawab. Karenanya, dia akan mengalihkan topik begitu saja. "Kayanya ketimbang laper me time, kamu lebih ke laper soto setiap hari sih," selorohnya seolah sudah melupakan topik obrolan kami sebelumnya.
Khusus hal ini, aku berharap seseorang yang menjadi istriku nanti belajar dari Raya. Aku tahu ini terdengar menyebalkan tetapi aku ingin seseorang itu nantinya tidak menuntut penjelasan ketika aku enggan menjelaskan. Aku berhasrat dia belajar mengalihkan topik dengan serampangan sehingga terkesan memang tidak menginginkan jawaban. Mungkin itu saja cukup.
***
“Adan, Kang Raka dari kemarin sikapnya aneh. Semacem mendekati ngediemin aku,” Raya yang baru sampai di apartemenku berujar lirih dengan wajah sembab dan lesu. Lengan jaket jeans yang dikenakannya turun pertanda dia berjalan tergesa-gesa ke sini. Aku menariknya kembali ke pundak perempuan yang baru saja menjatuhkan dirinya ke sofa.
“Kenapa?” aku duduk di lantai dekat sofa tempat Raya duduk.
“Pokoknya kamu harus jelasin sama dia kalau kita nggak ada apa-apa. Lebih tepatnya, kalau kamu nggak punya perasaan apa-apa ke aku dan sebaliknya,” dia mendadak serius.
“Kenapa harus aku yang jelasin? Apa dia nggak percaya sama kamu?”aku berusaha menghindar. Sejak break dengan Raya, aku terbiasa tidak menjelaskan perasaanku kepada siapapun dan kini aku menjadi terkondisikan enggan melakukannya.
“Iya aku udah jelasin. Aku jelasin kalau aku suka kamu tapi itu di masa lalu dan kamu memang nggak punya perasaan apa-apa ke aku. Dia tetep masih ngediemin aku,” sahabatku itu merengut.
“Kalau aku nggak mau njelasin gimana, Ya?” ujarku lirih. Aku berharap masih ada kemungkinan untuk menghindar dari menjelaskan perasaan.
“Lho… kenapa?” perempuan itu menatapku heran.
“Aku nggak mau bohong sama Kang Raka. Dia pasti tahu kalau aku berbohong,” ucapku perlahan-lahan.
“Adan, kamu pikir semustahil itu move on dari kamu? Kamu pikir aku cuma lagi menghibur diri pas aku bilang aku udah bisa melihat kamu sebagai teman? Butuh waktu dan usaha yang lama bukan berarti nggak mungkin, Dan. Aku nggak bohong soal…” suaranya yang tadinya lemah terdengar lebih tinggi.
“Bukan perasaanmu…… tapi perasaanku,” aku memotongnya yang masih menggebu-gebu berucap.
Raya menatapku dengan sejuta pertanyaan. Dari kedua matanya berloncatan pisau dan belati yang tanpa ampun menghabisiku. Kedipan cepat matanya seolah berusaha menyangkal yang barusan terdengar. Dia kembali melihatku dengan tatapan seolah meski-kamu-telah-bersimbah-darah-aku-masih-akan-menendangmu.
“Maksud kamu apa, Dan?” suara dingin Raya mengulitiku. “Ardhan…” dia mengangkat tangannya bersiap memukulku. Ketika tinggal seperpuluh detik dari lenganku, kepalan tangannya berhenti di udara.
“Kalau kamu mau aku menyangkal soal perasaan, kita nggak bisa ketemu lagi. Mataku terlalu jujur, Ya. Kang Raka pasti sadar aku bohong kalau kita ketemu lagi dan ngliat mataku. Kalau kamu pengen aku jelasin ke dia, oke aku besok jelasin. Tapi kita jangan ketemu lagi,” entah kekuatan dari mana yang mendorongku untuk menawarkan dua pilihan bagi Raya: memilih aku menjelaskan tetapi kemudian menjauh atau membiarkanku bungkam.
“Ardhanaaaa” kefrustrasian terdengar jelas dari suaranya. Juga, Raya tidak pernah memanggilku Ardhana. “Kamu nyebelin banget sih. Egois banget tau nggak sih?”
“Yaya… kamu nyebelin banget sih. Waktu aku dateng ke kampusmu dan nyari kamu ke perpus, aku mau bilang aku nggak mau mencari siapapun lagi, nggak mau menghabiskan waktu buat jelasin soal diriku lagi. Tapi kamu bilang kamu lagi dekat dengan seseorang cuma karena dia ngiket tali sepatumu. Raya, kalau kamu mau tali sepatumu aku iketin, kamu harusnya bilang,” amarah terdengar jelas dalam suaraku. Untuk yang kesekian kali, aku menahan menangis di depan Raya, “Aku nunggu sekian lama kamu mau ngobrol sama aku tapi kamu seolah nggak berniat mengakhiri break kita. Raya, kamu harus tahu seberapa banyak kesabaran yang aku kasih buat kamu? Waktu kamu ngetuk pintu apartemenku, kamu nggak tahu kan seberapa lega perasaanku? Kamu tahu perasaanku liat kamu di kursi penonton minggu lalu? Aku harap aku bisa memenjara kamu di kursi penonton bedah bukuku. Raya, banyak puisiku itu soal kamu. Baca, Ya. Baca!” aku bangkit dari kursi.
“Jangan suka sama aku,” tegasnya. “Jangan kalau itu sekarang, bukan 4 tahun yang lalu,” amarahnya tidak bisa tidak terlihat.
“Seandainya aku bisa memilih, aku juga nggak mau,” aku tak kalah tegas. “Tapi Raya, apa bedanya ini dengan dulu kamu minta break? Kenapa kamu harus semarah ini sementara waktu itu aku berusaha sekuat tenaga memikirkan agar hati kamu terasa ringan?”
“Ardhan!” Raya berteriak.
“Raya, do you know what’s so unfair about this? Kamu boleh bilang perasaanmu dan aku tidak. Kamu boleh menentukan kapan datang dan pergi dan aku harus terima. Kamu pikir kamu bisa menang atas segala hal, Ya?”
“Ardhan, do you know what’s so unfair about this? That all the time I do everything to save your heart and your relationship. But all you tried to do are messing with my heart and my relationship,” perempuan itu seakan hendak menamparku sampai babak belur saat itu juga.
“Slap me all you want, Ya. Tampar aku supaya aku sadar, you don’t deserve my heart.” Ucapannya yang seolah meruntuhkan semua keberaniannya untuk memukulku. You don't deserve my heart, entah bagaimana kalimat itu bisa terucap. Aku jelas sedang sangat marah sampai mengucapkan sesuatu yang pikiranku tidak pernah mengiyakannya.
“Mungkin kita udah terlalu biasa hidup tanpa kehadiran masing-masing ya,” suaranya melunak. Helaan napasnya telah berkurang beratnya meski aku masih melihat beban menggantung di pundaknya. Aku mengangguk lemah.
“Maaf ya. Aku egois. Seumur-umur aku janji sama diri sendiri buat nggak pernah ngebentak kamu, Ya tapi hari ini aku gagal.” suaraku sangat lemah. “Maaf juga karena mungkin dari sudut pandangmu, perasaanku selalu salah. Dulu salah rasa, sekarang salah waktu,”
“Maaf juga ya, Dan. Perasaanku ke kamu juga selalu salah. Dulu salah waktu, sekarang salah rasa,” dia mencoba tersenyum. Sebuah senyum yang bahkan siapapun yang melihatnya tahu, seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk melakukan itu. Dia beringsut mendekati pintu kemudian membukanya perlahan. Dia keluar dengan pandangan yang tertunduk. Seumur hidup belum pernah Raya bersikap setidak peduli itu kepadaku.
Tetapi Raya, bukankah kamu sudah berjanji untuk tidak akan pernah meminta break lagi?
***
“Tolong jangan tinggalin Raya, Kang. Aku mohon,” aku berteriak sembari membungkukkan badanku. Aku mengangkat kepalaku untuk menyaksikannya membeku dalam seribu ragu. Dia kemudian tersenyum sembari mengangguk. Dia mengangkat tangannya sebagai kode dia harus segera menuju kereta.
Aku menunggu beberapa detik memastikan dia tidak bisa melihatku lagi. Aku masih membungkuk bak kehilangan semua tulang yang menyanggaku. Aku mengeratkan jaket marun yang memelukku malam ini. Stasiun Gambir terlampau dingin malam ini. Aku memilih duduk di sudut stasiun seolah ada kereta yang sedang kutunggu. Suara dering ponselku memecah keheningan yang semula kukira abadi.
“Seberapa dalam kamu suka sama Raya?” suara seseorang yang baru beberapa menit lalu kutemui menghantamiku.
Aku menggeleng seolah seseorang di seberang sana bisa melihat gelenganku. Hening.
“Jawab aja, Dhan. Aku nggak akan ninggalin Raya gara-gara itu kok,”
“Aku beneran nggak punya perasaan apa-apa ke Raya, Kang,” jawabku lemah.
“Oke kalau kamu nggak mau ngaku,” dia menghela napas panjang, “Aku cuma mau ngasih tau, sebanyak apapun kamu menyukainya, aku yakin perasaanku ke Raya lebih dari itu,” suaranya dingin menyembilu kulitku yang sebenarnya sudah kedinginan.
Aku mengangguk seakan anggukanku bisa terlihat olehnya. Sejak memasuki stasiun ini, aku tahu aku tidak punya pilihan selain kalah. Seseorang yang tidak dipilih akan selalu kalah bahkan meski dia memiliki segalanya dan telah mengusahakan apapun. Aku tersenyum getir memandangi langit Jakarta malam itu yang seakan lebih gelap dari biasanya. Hari ini aku berjanji tidak akan menangis lagi hanya karena perasaanku kepada Raya. Karenanya aku memejamkan mata sebab mempercayai air mata tak bisa mengalir ketika kelopak mataku tertutup.
----
(to be continued)
----
(to be continued)
0 Comments:
Post a Comment