TUESDAYS WITH MORRIE (A SUMMARY)
- February 09, 2020
- by Nur Imroatun Sholihat
The review in the most straightforward manner: "A book that made me ugly cried"
source: bookbarista.nl |
Inilah pesan dari pertemuan mereka
setiap selasa yang mengetuk pikiran (or
should I say, menggedor hati dengan sangat keras seolah hendak mendobrak
dan merubuhkannya) seiring tubuh Morrie yang merenta, melemah, hingga akhirnya
menutup mata selama-lamanya:
- Selasa pertama mereka membicarakan dunia
“The
most important thing in life is to learn how to give out love, and to let it
come in.”
“Hal terpenting dalam hidup adalah
belajar bagaimana membagikan cinta, dan membiarkannya masuk (dalam dirimu).”
- Selasa kedua mereka membicarakan tentang merasa bersalah pada diri sendiri
“I give myself a good cry if I need it. But then I concentrate on all the good things
still in my life. On the people who are coming to see me. On the stories, I’m
going to hear. On you—if it’s Tuesday. Because we’re Tuesday people.”
“Aku membiarkan diriku menangis
yang baik jika aku membutuhkannya. Tetapi
kemudian aku berkonsentrasi pada semua hal baik yang masih ada dalam hidupku. Pada
orang-orang yang datang menemuiku. Tentang kisah-kisah yang akan kudengar.
Tentang kamu — jika itu hari Selasa. Karena kita orang Selasa.”
- Selasa ketiga berbicara tentang penyesalan
The first time I saw Morrie on “Nightline”,
I wondered what regrets he had once he knew his death was imminent. Did he
lament lost friends? Would he have done much differently?....
“It’s what everyone worries about,
isn’t it? What if today were my last day on earth? Mitch, the culture doesn’t
encourage you to think about such things until you’re about to die,…. You need
someone to probe you in that direction. It won’t just happen automatically.”
I knew what he was saying. We all
need teachers in our lives.
Pertama kali aku melihat Morrie
di "Nightline", aku bertanya-tanya penyesalan apa yang dimilikinya
ketika mengetahui kematiannya sudah dekat. Apakah dia menyesali kehilangan
teman? Apakah dia akan melakukan hal-hal dengan jauh berbeda?......
“Itu yang dikhawatirkan semua
orang, bukan? Bagaimana jika hari ini adalah hari terakhirku di dunia? Mitch,
budaya tidak mendorong kita untuk memikirkan hal-hal seperti itu sampai kamu di
ambang kematian, .... Kamu membutuhkan seseorang untuk menggiringmu ke
arah itu. Itu tidak akan terjadi begitu saja. "
Aku tahu apa yang dia katakan.
Kita semua membutuhkan guru dalam kehidupan kita.
- Selasa keempat mereka berbicara tentang kematian
“Everyone
knows they’re going to die,” he said again, “but nobody believes it. If we did,
we would do things differently.”
“Semua orang tahu mereka akan
mati," katanya lagi, "tetapi tidak ada yang mempercayainya. Jika iya,
kita akan melakukan berbagai hal dengan berbeda. ”
- Selasa kelima kami berbicara tentang keluarga
“Sure,
people would come visit, friends, associates, but it’s not the same as having
someone who will not leave. It’s not the same as having someone whom you know
has an eye on you, is watching you the whole time.”
Tentu, orang-orang akan
mengunjungi, teman, rekan, tetapi itu tidak sama dengan memiliki seseorang yang
tidak akan pergi. Itu tidak sama dengan memiliki seseorang yang kamu tahu dia
menaruh kepedulian padamu, memperhatikanmu sepanjang waktu.
- Selasa keenam kami berbicara tentang perasaan
“But
by throwing yourself into these emotions, by allowing yourself to dive in, all
the way, over your head even, you experience them fully and completely. You
know what pain is. You know what love is. You know what grief is. And only then
can you say, ‘All right. I have experienced that emotion. I recognize that
emotion. Now I need to detach from that emotion for a moment.’”
“Tapi dengan menyerahkan dirimu ke dalam perasaan-perasaan itu, dengan membiarkan dirimu menyelaminya, seluruhnya, bahkan tenggelam di dalamnya, kamu merasakannya segenapnya dan sepenuhnya. Kamu tahu apa itu rasa sakit. Kamu tahu apa itu cinta. Kamu tahu apa itu kesedihan. Dan hanya dengan begitu kamu dapat berkata, ‘Baiklah. Aku telah mengalami perasaan itu. Aku mengenali emosi itu. Sekarang aku perlu melepaskan diri dari perasaan itu sejenak. "
- Selasa ketujuh kami berbicara tentang ketakutan menua
“It’s
very simple. As you grow, you learn more. If you stayed at twenty-two, you’d
always be as ignorant as you were at twenty-two. Aging is not just decaying, you
know. It’s growth. It’s more than the negative that you’re going to die, it’s
also the positive that you understand you’re going to die, and that you live a
better life because of it.”
“How
can I be envious of where you are—when I’ve been there myself?”
“Itu sungguh sederhana. Saat kamu
tumbuh, kamu belajar lebih banyak. Jika kamu tetap di usia dua puluh dua, kamu
akan selalu bodoh seperti kamu di usia dua puluh dua. Penuaan bukan hanya
tentang merenta. Ia adalah berkembang. Lebih dari perkara negatif bahwa kamu
akan mati, hal positifnya adalah kamu mengerti kamu akan mati, dan bahwa kamu
hidup dengan lebih baik karenanya. ”
"Bagaimana aku bisa iri
dengan kamu dan usiamu — ketika aku pernah ada di sana?"
- Selasa kedelapan kami berbicara tentang uang
“Money is not a substitute for
tenderness and power is not a substitute for tenderness. I can tell you, as
I’m sitting here dying when you most need it, neither money nor power will
give you the feeling you’re looking for, no matter how much of them you have.”
“There’s a big confusion in this
country over what we want versus what we need,” Morrie said. “You need food,
you want a chocolate sundae. You have to be honest with yourself. You don’t
need the latest sports car, you don’t need the biggest house. The truth is, you
don’t get satisfaction from those things. You know what really gives you
satisfaction? Offering others what you have to.”
“Uang bukan pengganti kelembutan dan kekuasaan bukan pengganti kelembutan. Aku bisa memberi tahumu, saat aku
duduk di sini dalam kondisi sekarat, ketika kamu paling membutuhkannya, uang atau
kekuasaan tidak akan memberimu perasaan yang kamu cari, tidak peduli berapa
banyak (uang dan kekuasaan) yang kamu miliki. "
“Ada kebingungan besar di negara
ini tentang apa yang kita inginkan versus apa yang kita butuhkan," kata
Morrie. “Kamu butuh makanan, kamu ingin sundae cokelat. Kamu harus jujur pada
dirimu sendiri. Kamu tidak membutuhkan mobil sport terbaru, tidak membutuhkan rumah
terbesar. Kenyataannya, kamu tidak mendapatkan kepuasan dari hal-hal itu. Kamu
tahu apa benar-benar memberimu kepuasan? Menawarkan kepada orang lain apa yang
harus kamu berikan."
- Selasa kesembilan kami berbicara tentang bagaimana cinta berjalan
“Someone
asked me an interesting question yesterday,” Morrie said now,
“What
was the question?” I asked.
“If
I worried about being forgotten after I died?”
“Well?
Do you?”
“I
don’t think I will be. I’ve got so many people who have been involved with me
in close, intimate ways. And love is how you stay alive, even after you are
gone.”
"Seseorang mengajukan pertanyaan menarik kepadaku kemarin," kata Morrie kini.
“Apa pertanyaannya?” Aku bertanya.
"Apakah aku khawatir akan dilupakan
setelah aku mati?"
"Baik. Apakah kamu khawatir?"
"Kurasa aku tidak khawatir.
Aku punya banyak orang yang sangat dekat, sangat akrab berhubungan denganku.
Dan cinta adalah bagaimana kamu tetap hidup, bahkan setelah kamu menghilang."
- Selasa kesepuluh kami berbicara tentang pernikahan
“there
are a few rules I know to be true about love and marriage: If you don’t respect
the other person, you’re gonna have a lot of trouble. If you don’t know how to
compromise, you’re gonna have a lot of trouble. If you can’t talk openly about
what goes on between you, you’re gonna have a lot of trouble. And if you don’t
have a common set of values in life, you’re gonna have a lot of trouble. Your
values must be alike.”
“Ada beberapa aturan yang aku tahu adalah benar tentang cinta dan pernikahan: jika kamu tidak menghormati pasanganmu, kamu akan mendapat banyak masalah. Jika kamu tidak tahu cara berkompromi, kamu akan mendapat banyak masalah. Jika kamu tidak dapat berbicara secara terbuka tentang apa yang terjadi di antara kalian, kamu akan mendapat banyak masalah. Dan jika kamu tidak memiliki seperangkat nilai yang sama dalam hidup, kamu akan mendapat banyak masalah. Nilai-nilai kalian harus serupa."
- Selasa kesebelas kami berbicara tentang budaya kami.
“Here’s what I mean by building
your own little subculture,” Morrie said. “I don’t mean you disregard every
rule of your community. I don’t go around naked, for example. I don’t run
through red lights. The little things, I can obey. But the big things—how we
think, what we value—those you must choose yourself. You can’t let anyone—or
any society determine those for you.”
"Inilah yang aku maksud dengan
membangun subkultur kecilmmu sendiri," kata Morrie. "Tidak berarti kamu
mengabaikan setiap aturan masyarakatmu. Aku tidak pergi berjalan dengan telanjang,
misalnya. Aku tidak lmenerobos lampu merah. Hal-hal kecil, bisa aku patuhi. Tetapi hal-hal besar — bagaimana kita berpikir, apa yang kita hargai
— kamu harus memilihnya sendiri. Kamu tidak boleh membiarkan siapa
pun — atau masyarakat mana pun menentukannya untukmu.”
- Selasa kedua belas kami berbicara tentang pemaafan
“I
always wished I had done more with my work; I wished I had written more books.
I used to beat myself up over it. Now I see that never did any good. Make
peace. You need to make peace with yourself and everyone around you.”
“Forgive
yourself. Forgive others. Don’t wait, Mitch. Not everyone gets the time I’m
getting. Not everyone is as lucky.”
“Aku selalu berharap aku melakukan lebih banyak terkait pekerjaanku; aku berharap aku telah menulis lebih banyak buku. Dulu aku sering menyalahkan diri sendiri. Sekarang aku melihat bahwa itu tidak pernah ada gunanya. Berdamailah. Kamu perlu berdamai dengan diri sendiri dan semua orang di sekelilingmu. "
"Maafkan dirimu. Maafkan
orang lain. Jangan menunggu, Mitch. Tidak semua orang mendapatkan waktu yang
aku dapatkan (hidup sampai tua dan menyadari tentang perlunya memaafkan). Tidak semua orang seberuntung itu. ”
- Selasa ketiga belas kami berbicara tentang hari yang sempurna
“What if you had one day perfectly
healthy,” I asked, “What would you do?”
“Twenty-four hours?” Let’s see … I’d get up in the morning, do my
exercises, have a lovely breakfast of sweet rolls and tea, go for a swim, then
have my friends come over for a nice lunch. I’d have them come one or two at a
time so we could talk about their families, their issues, talk about how much
we mean to each other. Then I’d like to go for a walk, in a garden with some
trees, watch their colors, watch the birds, take in the nature that I haven’t
seen in so long now. In the evening, we’d all go together to a restaurant with
some great pasta, maybe some duck—I love duck and then we’d dance the rest of
the night. I’d dance with all the wonderful dance partners out there until I
was exhausted. And then I’d go home and have a deep, wonderful sleep.”
“That’s it?”
“That’s it.”
It was so simple. So average. I
was actually a little disappointed. I figured he’d fly to Italy or have lunch
with the President or romp on the seashore or try every exotic thing he could
think of. After all these months, lying there, unable to move a leg or a
foot—how could he find perfection in such an average day?
Then I realized this was the whole
point.
“Bagaimana jika suatu hari kamu sehat secara sempurna,” aku bertanya, “Apa yang akan kamu lakukan?”
"Dua puluh empat jam? Mari
kita lihat ... Aku akan bangun di pagi hari, berolahraga, sarapan yang
menyenangkan dengan roti gulung manis dan teh, berenang, lalu meminta
teman-temanku datang untuk makan siang yang menyenangkan. Aku meminta mereka
datang satu atau dua orang saja sekali waktu sehingga kami bisa membicarakan keluarga mereka, masalah mereka, berbicara tentang betapa berartinya kami bagi
satu sama lain. Lalu aku ingin
berjalan-jalan, di sebuah taman berhias beberapa pohon, melihat warna-warnanya,
memperhatikan burung-burung, merasakan alam yang sudah begitu lama tidak aku
lihat. Di malam hari, kita semua pergi bersama-sama ke restoran dengan pasta
yang enak, mungkin juga bebek—aku suka bebek, lalu kita menari sepanjang malam.
Aku akan menari dengan semua partner menari yang luar biasa di luar sana,
sampai aku kelelahan. Dan lalu aku pulang dan tidur nyenyak.”
“Itu saja?”
“Itu saja”
Itu sangat sederhana. Sangat biasa. Aku
sebenarnya sedikit kecewa. Aku pikir dia akan terbang ke Italia atau makan
siang bersama presiden atau bermain-main di pantai atau mencoba setiap hal
eksotis yang bisa dia pikirkan. Setelah sekian bulan, terbaring di sana, tidak
bisa menggerakkan kaki atau kaki—bagaimana dia bisa menemukan kesempurnaan
dalam hari yang biasa-biasa saja? Kemudian aku menyadari bahwa inilah inti dari semuanya.
- Selasa keempat belas kami mengucapkan selama tinggal
“Touched
me …” he whispered. He moved my hands to his heart. “Here.”
It
felt as if I had a pit in my throat. Coach?
“Ahh?”
I
don’t know how to say good-bye.
He
patted my hand weakly, keeping it on his chest.
“This
… is how we say … good-bye …”
"Sentuh aku…" bisiknya.
Dia menggerakkan tanganku ke hatinya. “Di sini."
Rasanya seperti ada lubang di
tenggorokanku. Coach?
"Ahh?"
Aku tidak tahu bagaimana
mengucapkan selamat tinggal. Dia menepuk tanganku dengan lemah, menjaganya
tetap di dadanya.
"Ini ... adalah bagaimana
kita mengatakan ... selamat tinggal ..."
source: enotes.com |
I ugly sobbed when I finished
reading this book. I was so emotionally invested due to the raw emotions all
over the pages. There is a part of me who is reluctant to be separated with
Morrie: as if he’s my own teacher.
Dan bagian yang bikin saya kejer
nangis? Air mata saya luruh begitu saja begitu membaca bagian ini:
“You’ll
come to my grave? To tell me your problems?”
“My
problems?”
“Yes.”
“And
you’ll give me answers?”
“I’ll
give you what I can. Don’t I always?”
I
picture his grave, on the hill, overlooking the pond, some little nine-foot
piece of earth where they will place him, cover him with dirt, put a stone on
top. Maybe in a few weeks? Maybe in a few days? I see myself sitting there
alone, arms across my knees, staring into space.
“It
won’t be the same,” I say, “not being able to hear you talk.”
“Ah,
talk …”
He
closes his eyes and smiles.
“Tell
you what. After I’m dead, you talk. And I’ll listen.”
----
(Buku ini mengingatkan saya kepada
para guru dan mentor yang memiliki pengaruh besar dalam hidup saya. Keinginan untuk mengunjungi mereka meluap membanjiri pikiran saya.)
0 Comments:
Post a Comment