KAWI
- March 16, 2020
- by Nur Imroatun Sholihat
PART 10: BAHKAN
JIKA AKU HARUS MENGABARI SEISI DUNIA, AKU TAK AKAN MENGABARIMU
source: tumblr.com |
(Ardhan’s POV)
“Tadi kita sudah sedikit bahas soal buku ‘Perempuan’ karya Mas
Ardhana. Nah kalau buku yang ini viral banget ya. Siapa coba yang belum denger
soal buku ini,” sang moderator memamerkan buku karya Raya di genggamannya.
“Kita tanya langsung ke penulisnya ya. Dari judulnya saja sangat menarik ya
Mbak Raya: Bahkan Jika Aku Harus Mengabari Seisi Dunia, Aku Tak Akan
Mengabarimu. Boleh diceritakan nggak maksudnya apa?”
Aku menahan diri dari menoleh untuk menangkap detail ekspresinya
saat menjelaskan. Seolah tidak benar-benar peduli, kenyataannya aku memasang
telinga karena aku selalu ingin menjadi seseorang yang mendengar kisah di balik
penulisan buku ini selayaknya seorang sahabat dekat.
“Ini antitesis dari ungkapan yang umum saat kita jatuh cinta yaitu
aku ingin mengabarimu--bahkan jika aku tidak bisa memberi tahu siapapun, aku
ingin mengabarimu. Di buku ini saya ingin bercerita sebaliknya. Karena aku
sangat mencintaimu, aku tidak kuasa mengabarimu. Ada banyak cerpen di dalamnya
tetapi mungkin yang sudah pernah baca tahu ada benang merah dari semua
cerpennya: aku tidak mengabarimu. Saat aku sakit, supaya kau tak perlu
terbebani perasaan tak enak hati bila tak menjenguk. Saat aku sedih, supaya kau
tak perlu merasa berkewajiban menghibur. Saat aku kesulitan, supaya kau tak
perlu merasa perlu membantu. Begitu Mas gambaran buku ini secara umum,” jawab
Raya lancar.
Aku menjaga arah pandang wajahku ke depan. Ucapanku di masa lalu
teringat kembali: bahkan jika aku harus merahasiakannya dari seisi dunia, aku
masih akan mengabarimu. Jadi Raya membaliknya begitu saja?
“Menurut Mbak Raya, apa sih yang bikin buku ini bisa seviral ini?
Sampai-sampai rasanya semua orang mengutip quote
dari buku ini di sosmed mereka?”
“Mungkin karena buku ini seperti diangkat dari kisah nyata semua
orang ya. Kita pasti punya setidaknya seseorang yang membuat kita sangat ingin
memperjuangkan kebahagiaannya. Kita nggak mau membuatnya bersusah sedikit pun.
Dan itulah kenapa bahkan kita bersedia menerima segitu banyak luka—demi dia
tidak mendengar kabar kita meski kita sangat ingin mengabarinya.”
“Wah menarik sekali buku Mbak Raya. Saya tahu nih Mas Ardhan pasti
sibuk tetapi kalau dilihat dari instastory-nya
kayanya sudah baca ya bukunya Mbak Raya.” sang moderator tiba-tiba beralih
menatapku. Aku yang sedang tenggelam dalam samudra pikiranku sendiri tersentak
oleh pernyataan yang tidak terduga ini. “Bagaimana komentarnya nih sebagai
senior di bidang menulis,”
Aku sebenarnya tidak menyiapkan komentar apa-apa soal buku Raya.
“Buku ini mengemas emosi yang meluap-luap dengan cara yang tidak
berlebihan. Penulis berhasil membuat saya terhanyut dan berpikir, siapa ya
orang yang bisa membuatnya menulis seperti ini. Sebagai debut seseorang sih ini
karya yang tidak bisa dianggap enteng,”
Raya menatapku. Aku
menatapnya. Seolah seperti dulu kala, kami masih bisa saling membaca pikiran
masing-masing melalui mata.
“Mbak Raya pasti senang ya dipuji penulis best seller,” Moderator memindahkan fokus pada Raya. “Menyambung
pertanyaan Mas Ardhan, kita boleh tahu nggak siapa sih yang menginspirasi Mbak
Raya menulis seperti ini?”
“Di dunia ini, ada banyak sih orang yang berhasil membuat saya
menghentikan diri dari mengabari mereka,” Raya tertawa lepas seolah dia sedang
bercanda. Darimana dia belajar bercanda
ketika menghadapi pertanyaan yang tidak ingin dijawab? “Tentu karena mereka
orang-orang yang kebahagiaannya penting bagi saya,” sambung Raya.
“Oke kayanya kita kuis sebentar ya. Siapa di antara kalian yang
ngefans sama Raya? Boleh maju?” sang moderator mengajukan kuis.
“Sebutin nama lengkap Mbak Raya,” ujar pria berkemeja putih itu
kepada salah satu penonton yang naik ke panggung.
Aku menoleh untuk mendapati Raya tersenyum sebab seorang
penggemarnya sedang mencoba mengingat nama lengkapnya. Raya memang tidak pernah
mempublikasikan nama belakangnya di mana pun. Dia ingin dikenal sebagai ‘Raya
Gauri’ saja. Pikiranku ditarik mundur ke sebuah masa ketika kami sedang membahas
nama pena kami.
“Ya, nanti kamu kalau jadi penulis pake nama Raya Tanaya aja.
Terus disingkat Yaya. Bayangin cute
banget kan fans buku kamu manggil kamu ‘Yaya’.” Yang disambung perempuan yang
berjalan di sampingku itu dengan tersenyum. “Biar kita samaan, nama penanya
nama depan dan nama belakang. Nama tengahnya kita tinggal,” aku tertawa.
Perempuan yang mendapat pertanyaan sulit itu menoleh ke arah Raya
meminta bantuan menjawab. Raya hanya mengangkat kedua bahunya meledek fansnya
bahwa dia tidak akan memberi tahu.
“Hahaha. Boleh dibantuin penonton lain deh. Siapa yang tahu nama
lengkap Raya?”
Seorang pria berperawakan tinggi mengangkat tangannya. Tatapan
kami bertemu. Tidak mungkin pria ini tidak tahu nama lengkap Raya.
“Jangan-jangan nih Mas Ardhana tau. Tadi dia bilang kesukaan Mbak
Raya klepon. Kalau nama lengkapnya tau juga nggak Mas?” sang moderator luput
memperhatikan bahwa seseorang di kursi penonton berusaha menjawab.
“Kayanya di antara penonton ada yang tahu. Coba Mas tanya ke orang
yang sekarang lagi angkat tangan,” aku mengarahkan pandangan moderator ke arah
seseorang yang mengangkat tangan di tengah kerumunan.
***
(Raya’s POV)
“Rayaaaaaa…..ketemu lagi,” suara seseorang yang setahun
diperkenalkan Ardhana kepadaku saat aku menghadiri bedah bukunya kini menyapaku
yang sedang berjalan kembali ke ruang tunggu. “Ardhana minta maaf soal
becandaannya tadi. Dia minta gue ngirimin klepon ini.” Dia menyodorkan klepon
yang disajikan dalam sebuah tampah mini.
Aku membaca pesan yang tertulis di kartu ucapannya.
Sekarang
karena fansmu sudah tahu kamu suka klepon, aku nggak boleh kalah cepat ngirimin
kamu klepon. After all, I’m the first member of your fansclub.
Ps: I don’t mind
people calling me Ardhan because that’s how I introduce myself, but I hate it
when you do.
“Kapan Ardhana ngrencanain ini, Mas?” aku menunjuk klepon di
tanganku dengan wajah terkejut.
“Tadi pagi sebelum ke sini dia minta gue nyariin klepon. Dia juga
minta moderator nanyain kesukaan Raya dan dia bilang dia mau sengaja jawab
klepon. Ardhan bahkan minta dipanggil duluan sebelum lo demi keisengannya itu.”
aku tidak konsen mendengar ucapan manager Ardhana itu sebab pikiranku melayang
ketika aku pertama kali mengunjungi apartemen Ardhana dan kami berbincang saat
makan.
“Kalau lagi kangen rumah, kamu ngapain, Dan?” aku membuka kulkas
di apartemen Ardhana untuk menyaksikan absennya bahan masakan. Dia pasti tidak pernah memasak.
“Kalau lagi kangen rumah, kamu ngapain Ya?” Ardhana hanya membalik
pertanyaanku sembari sibuk menggeser kardus-kardus bukunya mendekati dinding
agar tidak memenuhi bagian tengah ruangannya.
“Makan klepon.” Jawabku sumringah.
“Kamu udah di Jakarta. Ganti jajanan favorit ngapa Ya,” Ardhana
meledekku.
“Maafin beneran ya, Ya, becandaannya Ardhana kadang emang nggak
jelas,” ucapan pria di depanku membuyarkan ingatanku tentang masa lalu.
“Oh nggak apa-apa. Makasih ya.” Aku mengangguk. “Ardhananya di
mana, Mas?”
“Cieee nyariin Ardhana,” ledeknya.
“Cuma mau bilang makasih kok,” aku buru-buru mengklarifikasi.
“Kamu beneran mau ketemu Ardhan? Dia pasti bakal seneng banget
kalau iya.” pria di depanku mengkonfirmasi keinginanku bertemu penulis yang
dimanajerinya itu.
“Titip bilangin makasih aja ya.” Kalimat yang akhirnya terucap.
“Haha. Becanda, Ya. Ardhananya emang udah nggak di sini kok. Dia
udah meluncur ke acara lain. Gue ditinggal suruh nungguin ngasih kleponnya.
Selama nungguin lo tadi, gue jadi kepikiran sesuatu. Barangkali lo emang
sepenting itu buat Ardhan sampai dia nggak mau kleponnya nggak sampe ke tangan
lo langsung,” suaranya terdengar lebih serius dari biasanya. “Tapi gue lupa,
Ardhana memang suka memastikan hadiahnya sampe ke tangan yang dikiriminya.” Dia
mengambil jeda sejenak. “Raya, lo nggak perlu kok ngehindarin Ardhana
segitunya. Dia udah nggak punya perasaan lebih ke lo. Klepon ini yang terakhir
kok. Dia nggak bakal ngirimin apapun lagi di masa depan. Jangan salah paham ke
Ardhana. Lo emang punya soft spot di
hatinya tapi apa-apa yang dilakukannya akhir-akhir ini semata-mata karena
kebaikan hatinya. Jadi lo bisa berhenti bersikap seolah-olah Ardhana punya
salah gede banget ke lo when actually all he did was being honest about his
feeling,” baru kali ini aku mendengarnya berbicara panjang lebar kepadaku. Di
pertemuan setahun lalu, dia bahkan hanya berkata, “Oh ini Raya, sahabat yang
bikin Ardhana mau berangkat sendiri ke acara ini. Mau anter jemput kamu toh,
Ya. Oke selamat menikmati bedah bukunya.”
Aku mengangguk kemudian menunduk. “Maaf ya, Mas,”
“Gue nggak perlu dimintamaafin, Ya. Gue cuma nggak tega liat
Ardhan selama ini yang selalu ciut di depan lo. Mulai sekarang, gue harap lo bisa
bersikap sewajarnya. Kalau lo menghakimi perasaan Ardhana, semua udah selesai.
Jadi lo harusnya udah membebaskannya dari penjara ini,”
Aku seperti otomatis saja mengangguk. Pria di depanku ini kemudian
meminta izin untuk menyusul Ardhana ke tempat acaranya.
“Mas…” suaraku terdengar retak. Aku tidak benar-benar yakin dengan
apa yang hendak aku ucapkan. “Mas percaya kalau saya bilang Ardhana ini penting
banget buat saya? Saya nggak pernah sedikit pun berniat menyakitinya. Saya cuma
mau dia cepat move on dari saya,”
“Sekarang dia udah move on kok.
Are you happy now?”
Sepasang mata menatapku tajam menunggu jawaban pertanyaannya. Are you happy now, Raya?
***
Aku berjalan bersisihan dengan Kang Raka ketika aku menyadari
ponselku tidak di tanganku. Aku mengaduk-aduk tasku mencari di mana benda kecil
itu berada. Ketika berhasil menemukan, aku mengangkat pandanganku untuk
menemukan Kang Raka sudah berjalan beberapa langkah di depanku. Dia bahkan
tidak menyadari aku tertinggal.
“Kang...” aku memanggilnya. Yang dipanggil menoleh dengan ekspresi
terkejut.
“Sorry aku tadi lagi kepikiran kok aku bisa nggak tahu ya kamu
suka klepon sampe nggak sadar kamu ketinggal.” Dia menunjukkan ekspresi
bersalah. “Aku kayanya harus lebih banyak kenal kamu deh, Ya.”
“Itu kan nggak penting, Kang. Klepon juga bukan satu-satunya
makanan yang aku suka. Kang Raka kan tahu beberapa makanan lainnya yang aku
suka,” aku tersenyum seolah apa yang kami bahas bukanlah perkara besar.
“Ini penting, Ya. Aku harus jadi orang yang paling kenal kamu. Aku
nggak mau ngrasa gagal lagi kaya hari ini. Aku tahu Ardhana kenal kamu jauh
lebih lama tapi kejadian kaya hari ini tuh memukul, Ya.”
Talking about
a man’s pride, I should stop myself. But what happened later…
“Have we done talking about Ardhan?” aku setengah memprotes. “Dia
nggak salah apa-apa tapi kenapa Akang selalu bikin dia seolah-olah adalah
tembok di antara kita?”
“Raya…”
“Dia tahu nama lengkapku lebih dari siapapun di ruangan tadi, tapi
dia ngalah kan sama kamu, Kang? He’s a good person. Stop act like he’s a bad
guy. Juga bisa kan kamu berhenti bersikap seolah-olah
aku perempuan yang cuma berpura-pura bahagia di sampingmu? You’re making me
like a bad guy too,”
“Raya…” nada bicaranya naik.
“Kalau kamu segitu insecure-nya,
aku kan udah bilang kamu bisa nikahin aku sekarang. Kamu perlu bukti apa lagi?”
aku tidak kalah menaikkan nada bicaraku.
“Tapi hati kamu nggak buat aku, Ya,” jawabnya lemah. “Ya kan?” dia
menatapku dengan tatapan rapuh. “Ya kan?” dia mengulangi pertanyaannya.
Aku kesulitan mencerna kenyataan
bahwa bahkan setelah setahun berlalu, perkara Ardhana masih bisa mengusik
ketenangan kami. Pikiranku mendadak menggapai sosok seseorang yang tidak pernah
memaksaku menjawab. Seseorang yang bahkan rela terlihat sebagai seseorang yang
tidak membutuhkan jawaban ketika aku terlihat berpikir keras. Aku tanpa alasan
yang jelas ingin dia datang menyelamatku saat ini. Perasaan ini persis dengan
perasaanku saat ingin Ardhana melarangku bersama seseorang lain 8 tahun yang
lalu. Aku ingin Ardhana tiba-tiba muncul menyelamatkanku meski sejujurnya aku
tahu 2 hal: dia tidak akan datang dan aku bisa menyelamatkan diri sendiri.
“Oh ya, klepon itu dari Ardhana. Kalau aku merasa Ardhana itu
lebih aku inginkan, aku nggak mungkin rela klepon itu dipegang kamu sekarang,”
aku beranjak pergi meninggalkannya yang masih memegang klepon yang seharusnya
kubawa pulang.
***
(Ardhan’s POV)
“Dhan, gue udah ketemu Raya.
Kleponnya udah sampe ya ke tangan dia,” manajerku yang baru saja datang duduk
di sebelahku.
“Thank you, Mas. Aku janji ini
yang terakhir. Aku nggak bakal ngrepotin lagi minta beliin bunga atau makanan
buat dia,” aku mengajaknya ber-high five.
“Selamat ya, misi move on lo udah selesai.” Pria bernama Dino
itu menepukku. “Mau dikenalin perempuan yang kaya apa? Gue cariin deh,”
“Kan kamu tau,” aku meledeknya.
“Yang kaya Raya? Ya ampun, Ardhan.
Perempuan yang lebih baik banyak kali,” dia terdengar kesal. Sedari sebulan
yang lalu ketika aku menceritakan keseluruhan cerita di antara aku dan Raya,
dia tidak bisa tidak terdengar setengah kesal ketika membahas perempuan itu.
Aku tersenyum. “Nggak dulu deh,
Mas. Mau fokus nulis buku selanjutnya. Kesel nih penjualan bukuku disalip
bukunya Raya. Mau bikin buku yang lebih bagus biar bisa ngalahin Raya,”
“Ya lo udah tahu dia saingan lo,
masih dipromosiin pula,” Mas Dino lagi-lagi terdengar sedikit kesal. “Makanya
jadi orang jangan kelewat baik. Apalagi kalau udah berhubungan sama Raya, baik
lo udah nggak rasional lagi,” pria di sebelahku ini menggerutu.
“Weitsss. Kita udahan bahas
Rayanya. Proyek move on sudah
selesai. Sekarang kita cuma boleh ngomongin Raya dalam konteks penulis yang
pengen disalip penjualan bukunya.” Aku tersenyum meledek. “Sekarang aku mau
selesein baca bukunya Raya biar tahu kenapa buku ini meledak banget. Nanti aku mau bikin buku yang lebih bagus dari ini,” aku menunjukkan buku Raya di tanganku.
Mas Dino hanya tersenyum tipis
pada keberanianku untuk menyelesaikan buku Raya. Aku sempat menunda membacanya
sampai tuntas sebab khawatir perasaanku akan remuk redam. Tetapi kini, aku tak
lagi ketakutan akan merasa sedih ketika membacanya. Aku membuka bagian terakhir
dari buku bersampul hitam itu.
Bahkan
jika aku harus mengabari seisi dunia, aku tak akan mengabarimu. Sebab jika aku
harus mengabarimu sesuatu: aku pasti akan mengabarkan perasaanku.
Hati
yang bersorak sorai melihatmu, jantung yang bergemuruh saat tatapan kita bertemu,
darah yang menari saat mendengar suaramu merdu, otak yang berpikir keras cara
menangkal pesonamu.
Tetapi
sebab perasaanku tidak sepantasnya terucap, aku tidak akan mengabarimu, bahkan
jika seisi dunia terpaksa mengetahuinya. Jika aku harus mengabarimu
sesuatu, aku pasti akan mengabarkan perasaanku. Maka aku tidak akan mengabarimu
apapun.
Aku menutup sampul belakang buku
di tanganku. Aku menoleh ke arah Mas Dino yang sedari tadi memperhatikan
ekspresiku saat membaca. Aku tersenyum. Beban perasaan yang begitu sarat telah
terangkat dari ruang batinku. Aku kembali menghirup kelegaan yang telah
bertahun-tahun hilang. Aku tersenyum lepas yang diikuti senyum serupa dari Mas
Dino. Selamat tinggal, Raya Gauri Tanaya. Mulai sekarang aku tidak akan
berharap apa-apa lagi.
----
(to be continued)
0 Comments:
Post a Comment