Ramadhan kali
ini jelas berbeda. Tidak ada lagi sudut pikiran yang berjingkatan merencanakan
kepulangan ke kampung halaman di penghujungnya. Tidak lagi sama persuaan penuh
kasih dengan sanak saudara dan handai taulan di tanggal 1 bulan selanjutnya.
Bahwa tidak mengunjungi rumah, berdiam di perantauan, dan menahan sesak yang
membanjiri dada adalah bentuk cinta setulus-tulusnya saat ini. Itjen
Kemenkeu ingin menepuk-nepuk bahu semua orang yang sedang mengarungi masa sulit
itu dengan persembahan puisi berjudul “Surat dari Ibu” ini. Kami tahu air mata
yang menggantung di sudut mata. Kami memahami kerinduan yang belum dapat
terjawab dengan perjumpaan. Kami ikut merasakan masa di mana beban menjadi
begitu sarat ditanggung batin.
Maka saat ini,
mari tidak berselisih tentang perwujudan rindu. Bahwa dua hati yang untuk
sementara tidak bertemu barangkali lebih syahdu. Untuk melipur lara, terimalah
persembahan kami ini: puisi "Surat dari Ibu" (instagram)
Sedikit cerita di balik pembuatan video ini, di malam hari, 2 hari
menjelang video itu diunggah, saya mendapat pesan untuk merekam suara saya
membacakan sebuah puisi. Saya menatap sajak yang panjang itu, berusaha
mereka-reka bagaimana saya akan membacakannya tanpa terdengar membosankan.
Tantangan mendeklamasikan puisi panjang dengan emosi yang bisa dibilang seragam
sepanjang bait-baitnya adalah membuat orang masih mau mendengarkan sampai
akhir. Maka saya pun memejamkan mata, membayangkan bagaimana perasaan para ibu
yang saya kenal (termasuk ibu saya) mengetahui anaknya terjebak di zona merah
dengan hati yang gelisah tetapi terlarang untuk pulang. Saya membayangkan
betapa remuknya batin seorang ibu ketika dia mengetahui anaknya bersusah lara
tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa (let’s admit it, mom hates it when she
can’t do anything for our sake T.T). Saya pun kemudian memadamkan lampu kamar
kosan saya lalu membacakannya. Saya tidak memaksa diri saya menangis. Air mata
membanjir begitu saya seolah seluruh kekuatan saya luruh. Hati saya berserakan
mengetahui bahwa barangkali semua orang tua sedang merasakan apa yang saya
bacakan. Pikiran saya pecah berkeping-keping menyadari jarak menjadi tidak
tertempuh bagi begitu banyak orang saat ini. Saya ingin melalui puisi saya bisa
menghibur hati mereka—bahwa mereka tidak sendiri.
Terima kasih sebesar-besarnya untuk Pak Hisyam yang selalu mengizinkan saya
membacakan puisinya yang seperti debur ombak yang tenang tetapi mengoyak batin.
Juga terima kasih untuk Mas Ludovikus Agwin yang telah mempercayai saya untuk
menjadi pembaca puisi ini. Ichsan #teamnobetrayal yang sudah mengedit video ini
dan Mas Aris yang sudah meminjamkan fotonya, terima kasih sudah menjadi bagian
dari kolaborasi ini. Terima kasih juga untuk semua yang sudah mendengarkan dan
menuturkan betapa banyak air mata yang mengalir karena puisi ini. (Saya tidak
pernah menyangka akan ada begitu banyak orang yang menghubungi saya karena
pembacaan puisi ini). Virtual hugs to everyone :)
0 Comments:
Post a Comment