AKU AKAN BERPURA-PURA KAU TAK NYATA AGAR HATIKU TAK LARA
- August 03, 2021
- by Nur Imroatun Sholihat
source: fullhdwallpapers3d.com |
"Tonight I can write the saddest poem of all. To think I don't have her to feel
that I've lost her." (Tonight I Can Write The Saddest Poem – Pablo
Neruda)
Dua suku kata namaku seharusnya tidak perlu terdengar menyayat seandainya bukan dia yang mengucapkan. Suara itu seolah bergaung, tidak berbelas kasihan pada deretan waktu yang telah kuhabiskan untuk melupakan. Kuharap tak seorang pun memiliki kekuatan semacam ini. Dia hanya memanggil tetapi mengapa seluruh kenangan membanjiriku, hendak menenggelamkanku.
Aku
menoleh ragu. Dalam hati berdoa meski aku begitu hafal suaranya, kali ini aku
salah saja. Namun, yang kudapati justru sorot mata yang memporak-porandakan
ingatan. Permainan apa ini, semesta? Senyum ringannya menyadarkanku bahwa seseorang telah demikian berjaya menjajah amigladaku tanpa
menyisakan sedikit pun wilayah untukku. Lengkung matanya menebalkan kenyataan
bahwa aku hanyalah perempuan bodoh yang terperangkap dalam Palung Mariana miliknya. Kini aku merutuki kenyataan seseorang tanpa usaha apapun mampu
mempertahankan pengaruhnya padaku selama hampir satu dekade. Bahkan setelah
jarak dan waktu jauh membentang, satu persuaan tatapan mata cukup untuk
mengingatkan bahwa dia tidak pernah tidak sedigdaya itu di lembaran waktuku.
Larik puisi lama yang kutulis untuknya, “Adalah aku: perahu yang meski susah payah dikayuh masih sepenuhnya terombang-ambing debur ombakmu” berdering di kepala.
“Aku
nggak tahu kalau kamu kerja di sini. Kita akan banyak bekerja sama mulai
sekarang,” laksana tidak perlu lagi memperkenalkan diri, dia begitu antusias
menyebutkan bahwa ini bukan pertemuan terakhir seperti yang kuharapkan.
Di tengah huru-hara batin, jiwaku
bergeming. Bagaimana aku bisa berkata sementara seluruh tenaga kini terkuras
untuk menyangkal bahwa aku masih berdiri di hadapannya dengan menggenggam
perasaan yang sama. Aku tengah sibuk membela diri dari kenyataan tidak pernah sejatinya
melepaskan. Selama ini ternyata aku hanya lebih mampu membawa perasaan ini
dalam sunyi, dalam penerimaan. Kuantitas perasaan ini tidak pernah berubah,
kualitasku dalam memikul beban yang meningkat.
“Masih suka latihan ngomong di depan cermin? Masih hobi baca Neruda? Masih keranjingan koleksi barang-barang warna ungu? Masih rajin makan nasi goreng?” dia bak menegaskan bahwa dia tidak sedang
berlagak mengenalku. Terlebih lagi, dia sungguh memahamiku.
Aku
perlu menjelaskan apa sementara perempuan yang berdiri di depannya ini adalah
seseorang yang dia kenal betul dan tidak pernah berubah. Aku tetaplah perempuan
pemalu yang berusaha untuk bisa mengutarakan pemikiran tanpa terbata-bata.
Perempuan ini masih membaca buku-buku Neruda laksana seluruh alur di dalamnya
adalah cerita hidupnya. Diri ini hampir ajek menolak variasi ketika
memilih warna maupun makanan. Seseorang ini serupa buku yang telah habis
dibaca dan dia mengerti seluruh jalan ceritanya—isi kepalanya.
“Kenapa
kamu menghilang begitu saja? Apa kamu marah? Tapi karena apa?” dia masih saja
begitu. Tetap bertanya bagaikan memang berhak atas seluruh jawaban, seakan cerita
hidupku begitu menarik untuk diketahui meski tidak pernah sungguh-sungguh
berpikir demikian.
Dia tentu tidak tahu rasanya berjalan mundur dari tempat menceritakan isi kepala terdalam setelah menyadari kenaifan melakukannya sepihak saja. Dia tentu tidak tahu perihnya menaruh seluruh perasaan kepada seseorang yang tidak pernah menganggap lebih apa-apa yang terjadi. Dia pasti tidak pernah mengalami pucat pasi mengkhawatirkan seseorang kemudian mendapati orang tersebut sedang tersedu-sedu mengkhawatirkan orang lain. Dia tentu tidak tahu nelangsanya mengetahui harapan yang begitu penting di hidup ternyata hanyalah ilusi semata. Dia mana tahu tragisnya meminta maaf tanpa henti pada diri sendiri karena jatuh terlalu dalam hingga kesulitan menemukan jalan keluar. Dia mestinya tidak tahu pilunya patah hati berkali-kali pada seseorang yang tidak pernah dimiliki. Dia sungguh asing pada duka tidak masuk akal yang dirasakan seseorang yang merasa kehilangan tanpa pernah memiliki bukan?
“Apa
karena aku tidak terlihat lemah? Atau karena aku hampir tidak
pernah mengeluhkan apa-apa yang memerlukan bantuannya? Atau karena aku memang
tidak pantas atas rasa khawatirnya?”
Dia
sering bercanda bahwa perempuan selalu benar. Tetapi dia tidak pernah tahu bahwa perempuan dididik untuk menyalahkan diri sendiri dan seumur hidup
belajar untuk keluar dari dogma itu. Bahkan ketika seseorang yang
memenuhi ruang batinnya tidak melihat ke arahnya, perempuan akan mengolok-olok
bahwa dirinya memang tidak menarik, ketimbang berpikir adanya alasan lain.
Begitulah perempuan: merasa dirinya tidak pantas mendapatkan perasaan yang
istimewa setelah seseorang menghancurkan kepercayaan dirinya.
Jadi
berhentilah bersikap ibarat dirimu seseorang yang akan berlari
menghampiriku saat hujan badai datang karena kau tidak pernah melakukannya.
Berhentilah menyapa seakan kau ingin menyapaku sepanjang usia sebab kau hanya akan kemudian berlalu. Akhirilah sikap seolah seluruh jalan hidupku harus berada di
putaran bumimu. Berhentilah menyamar menjadi kebahagiaan yang kukenali saat kau
telah menjadi kesedihan yang kuhafali. Sebab seperti ribuan hari yang lalu, kau
memang tidak pernah berniat apa-apa bukan?
Dan aku?
Aku akan berpura-pura kau tak ada agar jiwaku tak berharap. Aku akan
berpura-pura kau tak nyata agar hatiku tak lara.
-----
(I missed writing fiction! Hihi. Anyway, I kept getting questions like "who's the inspiration behind your fiction stories?". Please understand that I put the "fiction" label here for the most straightforward reason: it's fiction--as I don't have the luxury of experiencing this and that *sobs*)
Halo ka Iim! Assalamualaikum.. Aku ke blog ini setelah baca artikel di injo.id. Kerenn! Kakak menginspirasi aku! Kenapa pertama baca bagian ini di blog kakak aku juga ga tau hehe. Berasa jadi "aku" di ceritanya *sobs*. Semoga lancar barokah keberangkatannya ke Australia tahun depan. Mohon doanya bisa menyusul :D
ReplyDeleteHalo. Waalaikumsalam. Alhamdulillah. Terima kasih ya sudah berkenan mampir. Iya nih sekalinya baca pas saya nulis fiksi (yang sesungguhnya jarang terjadi. hehe).
DeleteIyaaaa! Banyak yang bilang ini mewakili perasaan mereka. Saya kira cuma mewakili perasaan saya aja *eh *ini fiksi kok. Hehe.
Aamiin. Lancar barokah untuk segala usaha-usahanya untuk bisa studi ke Australia. Let me know kalau ada yang bisa saya bantu :)