LIRIH
- November 27, 2023
- by Nur Imroatun Sholihat
source: pixabay |
Aku senang mendengar suara-suara lirih yang nyaris tidak terdengar
di perpustakaan. Di antara bunyi-bunyi itu, aku bisa memisahkan alunan jemarimu
membalik halaman buku. Aku bisa mengenali ayun matamu yang berdansa dengan aksara. Aku bisa mendengar tulang-tulang rusukmu terangkat ketika menghela udara.
Di tengah riuh rendah itu, aku bisa membedakan suaramu ketika kau
berbisik menceritakan sesuatu kepada kawan-kawan. Aku juga tak luput menyadari gelak
tawa yang dirahasiakan agar petugas perpustakaan tidak menoleh ke arah kalian.
Aku jua mampu mengidentifikasi nada jarimu melangkah di atas
papan ketik. Begitulah kau, membaca buku seolah waktu bisa dihentikan lalu
menulis selama dua kali lipatnya. Aku berhasrat mengintip puisi yang tengah kau pijarkan melalui sepuluh jari-jarimu. Jadi sajak apa yang tengah berdenyut
bersama jantungmu kini?
Irama lirihmu dalam melakukan segala sesuatu di perpustakaan
begitu lain. Di tengah kegaduhan yang hampir terdengar hening itu, aku
menemukanmu dengan mudahnya. Sementara udara yang dingin tak mampu meredam deru
senyummu. Sementara wangi buku seolah memasung sepasang lingkaran matamu dalam
dunia yang lain. Sementara larik-larik puisimu tampak tak ingin berbagi
pujangganya dengan siapa pun.
Akankah kau datang tepat waktu ke perpustakaan hari ini? Apakah
kau masih akan duduk di tempat yang sama seperti biasa? Akankah teman-temanmu
akan menyusulmu tigapuluh menit kemudian seperti yang sudah-sudah? Akankah
matamu bergerak dengan kelambatan yang sama ketika menelusuri satu per satu
kalimat? Apakah jemarimu masih akan sesekali mengambil jeda di atas papan ketik
ketika kau tengah berburu kata? Akankah kau melepas kacamata dan mengusap mata
dengan cara yang sama?
Aku menemukanmu di sela-sela narasi yang kaukumpulkan. Aku
menyelami bersama keingintahuan tentang sajakmu selanjutnya. Sementara
sepuluh huruf namamu adalah puisi yang paling ingin aku lantunkan. Kau adalah
buku yang ingin aku baca berkali-kali tanpa penghujung. Seperti kau menulis
untuk orang lain, aku juga ingin menulis untukmu. Maka bolehkah aku meminjam
sedikit senyummu untuk kuselipkan di antara kata-kata yang tengah tersedu itu?
Lalu mengutip Helvy Tiana Rosa, "Bolehkah sekedar kupinjam punggungmu untuk menulis puisi-puisi yang tak henti menangis?"
----------------
(latar: saya rindu menulis cerita fiksi)
0 Comments:
Post a Comment