(For Bahasa version, please scroll down. | Versi bahasa Indonesia tersedia di bawah.)
Manifesting “amor fati”
(love of fate): an attitude in which one sees everything that happens in one’s
life, including suffering and loss, as good or, at the very least, necessary1.
“O, Ibrahim! Where are you
going leaving us (Hajar and Ismail) on this valley where none and nothing
seen?” Hajar repeated her question as Ibrahim didn’t look back at her. “Has
Allah ordered you to do so?” Hajar finally changed her question.
Ibrahim, without turning his body, nodded.
“Then He (Allah) will not
neglect us.” She said.
Many days ago, I suddenly
remember a piece of story where Ibrahim AS left Hajar and his son, Ismail,
behind in a deserted valley. It was grievous for both Ibrahim and his wife but
the two earnestly believed in Allah’s decree. Ibrahim steadily continued his steps
away and Hajar serenely stayed. Whenever I feel down, I tend to think that
Allah neglects me (seriously I know He doesn’t but there are days where my mind
gets blurry because of the adversity I go through. Pardon me, Allah). And
what made me feel that somebody slapped my face is that story above-mentioned:
Allah will not neglect me. Allah will never abandon his servants. (A similar story is around the Hudaibiyyah Treaty where Prophet Muhammad PBUH said: "I’m the messenger of Allah and He will never neglect me forever").
This particular family has
taught me to have full confidence in Allah’s will. And by full confidence I
mean, even when the order to slaughter Ismail came, both the dad and son instantly nodded. Even though they couldn’t decipher the meaning behind the command, they weren't in doubt about obediently doing it. It feels so unnatural to see humans wholeheartedly give
in to whatever fate befalls but this family is exemplary. They served as an
example of the peace of mind to every predestination. Not because it didn’t
torture their hearts but they had faith in His wisdom to put them in such a
situation. They were at ease because they knew for whatever happened in this
universe, The Wisest One decided it for them.
In the philosophy world, we
know the term “amor fati” and Islam has “ridho (be pleased) to Allah’s will”.
Those two phrases exude the same vibe: feeling entirely content with fate. That
even if you can choose your own fate, you still want the exact same one as
what had been decided. Talking about amor fati, Friedrich Nietzs stated: that
someone wants nothing to be different, not forward, not backward, not in all
eternity. Someone still wants their settled fate even if they have the right to
pick it by themselves. That one does not just accept Allah’s decision, he/she
respects it. It’s not that they passively surrender to life (as Daily Stoic said: acceptance isn't passive), they actively love
it. It’s not succumbing--it’s embracing life even if it’s not what they've dreamed.
It's common knowledge that everyone wants
(only) a good fate. I sincerely want it too. But life works in such an
unfathomable way: there are many times life does not go our way. Sometimes good
things do not happen even when we thought we deserve them. Favorable results
aren’t guaranteed even after we put a lot of effort. Hard work doesn’t always
be followed with success as no one can ascertain what you will get. It could be
that we are so determined to move forward and still in the same place after a
while. We could be kind yet life keeps bringing us down. Life inherently isn’t completely rational and fair. We can’t live peacefully if we
keep wanting everything to work our way. So, after putting in our best effort and pray,
let Allah handle the rest.
And also, rest assured that
even though some things won’t work our way, some won’t be disloyal to us.
Cherish both :)
We all know that the
practice of loving fate isn’t a walk in the park. I know it sounds so
unrealistic to smile at everything in life. But the pains, the failures, the
sadness, the tears, the bruises—we can appreciate instead of hate them. I’m
not saying that we can easily love those “seemingly” (as we don’t know, maybe
what we thought is bad is actually good and vice versa) negative things but we
can try. Please give it a try. You know why? Because that way, we can focus on
the good things that exist in our days. Because that way, our hearts would feel
tranquil as we know that everything happens, maybe it's meant to happen for our good, so we should embrace them warmly. And
ultimately, because we know this too is a decision of The One Who Loves You.
This too is Allah’s decision. He will never neglect us.
-----
INI JUGA ADALAH KETETAPAN ALLAH
Mewujudkan "amor
fati" (cinta terhadap takdir): sikap di mana seseorang melihat segala
sesuatu yang terjadi dalam hidupnya, termasuk penderitaan dan kehilangan,
sebagai hal yang baik atau setidaknya diperlukan1.
"Oh, Ibrahim! Ke mana
kamu akan pergi meninggalkan kami (Hajar dan Ismail) di lembah yang tidak
ada seseorang dan sesuatu pun terlihat?” Hajar mengulangi pertanyaannya
karena Ibrahim tidak kunjung melihat ke arahnya. “Apakah Allah telah memerintahkanmu
untuk melakukan ini?” Hajar akhirnya mengubah pertanyaannya
Ibrahim, tanpa menoleh, mengangguk.
"Maka Dia (Allah)
tidak akan menelantarkan kami." Hajar berkata.
Beberapa hari yang lalu,
saya tiba-tiba teringat potongan kisah di mana Ibrahim AS meninggalkan Hajar
dan putranya, Ismail, di lembah terpencil. Hal tersebut menelangsakan Ibrahim dan istrinya tetapi keduanya sepenuhnya percaya pada ketetapan Allah.
Ibrahim dengan mantap melanjutkan langkahnya dan Hajar dengan tenang bertahan.
Setiap kali merasa sedih, saya cenderung berpikir bahwa Allah
menelantarkan saya (saya tahu Dia tidak akan melakukannya tetapi ada hari di mana pikiran menjadi kabur sebab kesulitan yang saya alami.
Maafkan saya, Allah). Dan yang membuat saya merasa seseorang menampar wajah
saya adalah cerita di atas: Allah tidak akan menelantarkanku. Allah tidak akan
pernah meninggalkan hamba-Nya. (cerita serupa ada di saat Perjanjian
Hudaibiyyah di mana Nabi Muhammad SAW berkata: "Saya utusan Allah dan Dia tidak
akan pernah menyia-nyiakan saya selamanya").
Keluarga ini mengajari saya untuk memiliki keyakinan utuh pada kehendak Allah. Dan yang
dimaksud kepercayaan penuh tersebut adalah bahkan ketika perintah untuk menyembelih
Ismail datang, ayah dan anak itu langsung mengangguk. Meskipun mereka
tidak memahami arti di balik perintah itu, tidak ada keraguan untuk
melakukannya dengan patuh. Rasanya tidak wajar bukan melihat manusia dengan
sepenuh hati menyerah pada nasib apa pun yang menimpa tetapi keluarga ini
adalah teladan. Mereka menjadi contoh pikiran yang damai menerima setiap suratan. Bukan karena takdir tidak menyiksa hati tetapi mereka mengimani kebijaksanaan-Nya untuk menempatkan mereka dalam setiap situasi. Mereka
merasa nyaman mengetahui apa pun yang terjadi di alam semesta, Dzat yang
Mahabijak yang memutuskannya untuk mereka.
Dalam dunia filsafat, kita
mengenal istilah "amor fati" dan Islam memiliki "ridho (senang)
atas kehendak Allah". Kedua frasa itu memancarkan aura yang sama: merasa
sepenuhnya puas dengan takdir. Bahwa meskipun kita dapat memilih nasib sendiri,
kita tetap menginginkan yang sama persis seperti yang telah diputuskan.
Berbicara tentang amor fati, Friedrich Nietzs menyatakan: bahwa seseorang tidak
ingin ada yang berbeda, tidak ke depan, tidak ke belakang, tidak selamanya.
Seseorang masih menginginkan suratan yang telah ditentukan seandainya pun memiliki hak untuk menentukannya sendiri. Seseorang tidak hanya menerima
keputusan Allah, dia juga menghormatinya. Bukan pasif
menyerah pada kehidupan (seperti yang dikatakan Daily Stoic: penerimaan tidaklah pasif) tetapi mereka secara aktif menyukainya. Bukan pasrah tetapi merangkul kehidupan bahkan sekalipun bukan yang mereka inginkan.
Sudah menjadi rahasia umum
bahwa setiap orang menginginkan (hanya) nasib baik. Saya juga sungguh-sungguh
menginginkannya. Tetapi hidup bekerja dengan cara yang tak terduga: ada
banyak masa kehidupan tidak berjalan sesuai keinginan kita. Terkadang hal-hal
baik tidak terjadi bahkan ketika kita pikir kita pantas mendapatkannya. Hasil
yang menyenangkan tidak terjamin bahkan setelah kita berusaha keras. Bekerja
keras tidak selalu diikuti dengan kesuksesan karena tidak ada yang bisa
memastikan apa yang akan kita dapatkan. Bisa jadi kita begitu bertekad untuk
maju dan tetap di tempat yang sama setelah beberapa saat. Bisa jadi kita sudah berusaha menjadi baik tetapi hidup terus-menerus melempar kesulitan-kesulitan pada kita. Hidup pada dasarnya
tidak sepenuhnya rasional dan adil. Kita tidak bisa hidup dengan tenang jika kita terus menginginkan
semuanya berjalan sesuai keinginan kita. Jadi, setelah berusaha dan berdoa
semaksimal mungkin, biarkan Allah yang menanganinya.
Dan juga, yakinlah bahwa
meskipun beberapa hal tidak berjalan sesuai keinginan, beberapa tidak mengkhianati kita. Hargai keduanya :)
Kita semua tahu bahwa
praktik mencintai takdir bukanlah ibarat berjalan-jalan di taman. Saya tahu
sangat tidak realistis rasanya tersenyum pada segala hal dalam hidup. Namun,
rasa sakit, kegagalan, kesedihan, air mata, luka— kita bisa menghargai
alih-alih membencinya. Saya tidak mengatakan bahwa kita dapat dengan mudah
mencintai hal-hal yang "tampaknya" (kita tidak tahu,
mungkin apa yang kita anggap buruk sebenarnya baik dan sebaliknya) negatif
tetapi kita bisa mencoba. Mari mencoba. Mengapa? Karena dengan begitu,
kita bisa berfokus pada hal-hal baik yang ada di hari-hari kita. Sebab dengan
demikian, hati kita akan merasa damai mengetahui bahwa atas segala
sesuatu, mungkin itu terjadi untuk kebaikan kita, sehingga kita bisa memeluknya erat. Dan tentunya, karena kita tahu ini juga adalah keputusan dari Dzat Yang Mencintaimu. Ini juga adalah keputusan Allah. Dia tidak akan pernah
menelantarkan kita.
-------
1wikipedia.com